Keputusan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus mantan calon presiden 2014 dan 2019 Prabowo Subianto menerima tawaran Presiden Joko Widodo masuk ke dalam pemerintahan jilid keduanya, menerbitkan banyak harapan. Salah satunya penurunan suhu politik mengingat rivalitas kedua pendukungnya yang sangat tajam dan melibatkan massa grassroot .
Tanpa menafikan mereka yang kecewa, ada sebersit harapan, Prabowo dapat menutup "kelemahan" Jokowi  pada isu-isu tertentu, terutama keamanan dan kedaulatan. Sebab selama ini, oleh pendukungnya, Prabowo dipersepsikan sebagai sosok yang kuat dan tegas, sedang Jokowi sebaliknya. Hal itu didukung dengan penampilan dan intonasi bicara Prabowo yang keras dan cenderung meledak-ledak.
Karena persepsi demikian, maka kursi Menteri Pertahanan, terlepas apakah ditawarkan oleh Presiden Jokowi ataukah  atas kemauan Prabowo sebagai bagian dari negoisasi politik, dianggap tepat sehingga kegaduhan terkait keputusannya masuk ke Istana, reda dengan sendirinya.
Publik sempat terbius ketika Prabowo melakukan gerak cepat dengan menemui sejumlah Menteri Pertahanan. Bukan hanya dari kawasan ASEAN, namun juga hingga Turki dan Eropa.Bahkan sempat dinarasikan Prabowo akan berangkat ke Amerika Serikat untuk membuktikan dirinya tidak memiliki masalah dengan negeri Paman Sam seperti yang banyak dituduhkan selama ini.
Macan Asia, frasa yang didengungkan pendukungnya sebelumnya, menggelinjang dalam arus pikir sebagian anak bangsa, ketika melihat Prabowo diterima dengan baik oleh para koleganya di seluruh dunia. Indonesia akan kembali memiliki kebanggaan di tengah percaturan dunia, bahkan mungkin akan ikut terlibat aktif dalam ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan konstitusi dasar NKRI.
Tetapi semua ambyar ketika terjadi ketegangan di Laut Natuna sebagai dampak klaim China melalui peta nine dash line dan penolakannya terhadap putusan pengadilan arbitrase menyangkut kepemilikan Kepulauan Spratly yang dimenangkan Filipina.
Meski mengakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, namun China tetap berpegang pada prinsip kedaulatan atas dasar wilayah di masa lalu dan juga perairan terkait (relevant waters) di mana Laut Natuna merupakan wilayah tangkap ikan tradisonalnya.
Ada ekspektasi membuncah kepada Prabowo untuk bersikap tegas, termasuk mengirim kapal perang karena Badan Keamanan Laut (Bakamla) dianggap kurang gesit mengusir kapal-kapal nelayan China yang dilindungan kapal coast guard. Meski berstatus sipil tetapi kapal-kapal penjaga pantai itu tentunya dilengkapi persenjataan lengkap nonmiliter.
Namun apa lacur, Prabowo justru mengeluarkan statemen "haram" setidaknya di tengah situasi yang panas. Bahwa China negara sahabat, semua orang di dunia juga paham. Bahwa kita memiliki hubungan baik secara ekonomi, menyangkut invenstasi dan perdagangan, semua juga tahu. Tetapi sikap cool sama sekali tidak dibutuhkan ketika gelora nasionalisme tengah membuncah.
Beda halnya jika pernyataan normatif semacam itu keluar dari menteri lain, atau bahkan presiden sekali pun. Lebih pas dan tepat. Tapi tidak untuk Menteri Pertahanan!
Narasi bahwa wilayah yang diklaim China bukan wilayah kedaulatan RI, melainkan hanya hak kuasa karena berstatus zona ekonomi eksklusif (ZEE) seperti disampaikan Juru Bicara  Kemenhan Dahnil Anzar Simanjuntak semakin melunturkan kesan "garang" Prabowo.