Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Klaim China di Natuna Buka Tabir Pelengseran Susi Pudjiastuti?

5 Januari 2020   12:11 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:50 23657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi penenggelaman kapal mendapat respon positif masyarakat. Foto: KOMPAS.com/Antara

Aksi coast guard China mengawal nelayan dari negaranya dan mengusir nelayan Indonesia sebagai tindak lanjut klaim atas wilayah Natuna, membuka tabir lain. Benarkan Susi Pudjiastuti lengser dari kursi menteri Kelautan dan Perikanan akibat tekanan negara-negara yang nelayannya suka mencuri ikan di perairan Indonesia, termasuk China?

Ketegasan dan keberanian Susi Pudjiastuti selama memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat fenomenal dan diakui banyak pihak. Penenggelaman kapal pencuri dan pelarangan penggunaan jaring cantrang (hasil modefikasi pukat harimau/trawl) dan larangan menangkap benih ikan, terutama benih udang (benur) lobster untuk menjaga kesinambungan dan kelestarian laut, adalah tiga program andalannya.

Dampak dari kebijakan itu membuat laut Indonesia kembali penuh ikan dan industri perikanan negara tetangga yang mengandalkan ikan hasil curian dari perairan Indonesia, gulung tikar.

Namun kebijakan itu bukan tanpa tentangan dari dalam negeri. Salah satunya ketika nelayan di pesisir Jawa melakukan protes terhadap larangan penggunaan cantrang. PKB melalui sayap politiknya, Gerang Tani dan Nelayan, menekan pemerintah agar mencabut kebijakan tersebut. Presiden Joko Widodo akhirnya memerintahkan Susi untuk melakukan moratorium pelarangan cantrang setelah ribuan nelayan mendatangi istana.

Dari gambaran sekilas tersebut, tidak mengherankan jika kita cukup terkejut ketika nama Susi terpental dari kabinet periode kedua Jokowi. Banyak spekulasi beredar, termasuk kemungkinan Susi sering melangkah sendiri sehingga "berbenturan" dengan visi-misi presiden.

Ada juga spekulasi yang menyebut jika diberi kesempatan lagi, Susi akan menjadi tokoh dengan elektabilitas tinggi sehingga mengancam beberapa kader partai yang sedang dielus untuk Pilpres 2024.

Namun terjadinya beberapa "insiden" di laut setelah kemudi KKP dinahkodai Edhi Prabowo, dapat melahirkan spekulasi baru. Awalnya silang-pendapat terkait rencana KKP membuka kembali ekspor baby lobster ke Vietnam. Susi mendapat dukungan publik ketika secara terbuka mengkritik wacana yang digagas Edhi Prabowo.

Meski sempat mendapat "dukungan" Jokowi, namun hingga saat ini rencana membuka kembali kran ekspor benih lobster masih dalam "pengkajian". Terlepas bagaimana akhirnya, yang pasti sampai titik sekarang ini, Susi berhasil menghentikan wacana ekspor benih lobster.

Tetapi hanya beberapa hari setelah isu ekspor benih lobster reda, muncul peristiwa yang cukup menghebohkan ketika kapal-kapal penjaga pantai RRC memasuki perairan Natuna. Mereka tidak hanya mengawal nelayan dari negaranya untuk mencuri ikan di perairan Indonesia, namun juga melakukan pengusiran terhadap sejumlah kapal nelayan Indonesia.

Menurut Herman, ketua kelompok nelayan di Natuna, kehadiran coast guard China, hanya berjarak satu minggu setelah Susi meninggalkan KKP. Apakah hal itu terkait kebijakan Edhi Prabowo yang tidak ingin seagresif Susi dalam memburu dan menenggelamkan kapal pencuri ikan?  

Seperti diketahui, China sudah lama mengklaim Natuna bagian dari wilayahnya berdasarkan nine dash line (sembilan garis putus) yang dibuat sepihak berdasar luas wilayah yang pernah dikuasai Dinanti Ming (1368 -- 1644). China berdalih, sejak dulu Natuna merupakan wilayah tangkap ikan nelayan negaranya.

China juga menggunakan Kepulauan Spratly untuk mengklaim Natuna sebagai perairan terkait (relevant waters). China tidak mau mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda yang memenangkan Filipina dalam sengketa kepemilikan gugusan karang di Laut China Selatan tersebut.

Sementara Indonesia tetap berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan putusan arbitrase. Kementerian Luar Negeri telah memanggil dubes China untuk menyampaikan protes dan nota diplomatik atas pelanggaran yang dilakukan coast guard China di Natuna.

Pertanyaan menarik dari kisruh tersebut adalah mengapa China baru agresif sekarang ini? Di masa Susi, memang pernah terjadi pelanggaran, Indonesia tegas menangkap kapal nelayan China sekalipun dikawal coast guard. Setelah insiden yang konon sampai terjadi kontak senjata, coast guard China tidak pernah lagi memasuki Natuna.

China seperti sengaja menunggu Susi lengser untuk melakukan manuver agresif di Natuna. Dari sinilah muncul pertanyaan benarkah Susi tidak dipakai lagi karena ada tekanan dari negara-negara lain? Setidaknya jika mengacu pada kondisi terkini, Vietnam dan China "diuntungkan" dengan lengsernya Susi.  

Terlebih jika mengutip pernyataan Laksamana Madya (Purn) Freddy Numberi, mantan menteri KKP pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Freddy, di masa dirinya, KKP juga sempat memberlakukan kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan.

Namun baru beberapa kapal asal Vietnam yang ditenggelamkan, Freddy ditegur SBY yang saat itu tengah akrab dengan Perdana Menteri Vietnam.

Kita percaya Presiden Jokowi tidak mungkin mau diintervensi asing dalam membentuk kabinet. Sebab masih ada faktor lain yang bisa diajukan sebagai dasar kemungkinan tidak masuknya Susi dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Tekanan PDIP perlu juga dikemukakan karena kebijakan pelarangan cantrang sempat "merusak" basis suaranya di kalangan nelayan.

Demikian juga faktor bergabungnya Partai Gerindra. Terbatasnya jumlah kursi kabinet, sementara Presiden Jokowi juga harus mengakomodir kelompok di luar partai, bisa saja menjadi faktor terpentalnya nama Susi yang tidak memiliki dukungan politik setelah PDIP ngambek.

Mengakomodir Gerindra  jelas lebih strategis karena memiliki suara terbesar ketiga di DPR. Jika kemudian kader Gerindra yang menggantikan Susi kurang diterima publik, bukan berarti memiliki visi berbeda dengan presiden.

Tetapi tingginya investasi China di Indonesia sekarang ini, mungkin saja ikut "mempengaruhi" isu di seputar istana. Bahkan melalui cuitannya, Susi tegas meminta agar kita membedakan antara invenstasi dengan pencurian ikan, terlebih penyerobotan kedaulatan. 

Apa pun alasannya, keputusan presiden tidak kembali mengangkat Susi sebagai pembantunya, wajib dihormati karena itu merupakan hak prerogatif dan kita tidak mempersoalkannya. Tetapi manakala terpentalnya Susi benar akibat "pesanan" asing, tentu sangat disayangkan karena kedaulatan NKRI adalah harga diri seluruh warga bangsa.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun