Menko Polhukam Wiranto seperti tidak kehabisan narasi untuk melawan aksi demo mahasiswa dan pelajar. Setelah berulang kali menyebut kata "ditunggangi" kini Wiranto mendaur-ulang frasa "melawan konstitusi".
Kata "ditunggangi" sangat akrab dengan orde baru (orba). Dalam berbagai kesempatan, pejabat-pejabat orba dengan sukarela dan senang hati meniupkan kata sakral itu untuk membungkam kritik.
Jangankan kritik terhadap korupsi berjamaah yang dimotori bangsawan Cendana, sekedar menolak tanahnya digusur untuk pabrik, dengan mudah tudingan "ditunggangi" disematkan diikuti sebaris kata lain terutama komunis dan musuh pembangunan.
Frasa "melawan konstitusi" yang diungkap Wiranto ketika menanggapi rumor aksi mahasiswa dan pelajar untuk menggagalkan pelantikan anggota DPR, jelas sangat jadul. Seumuran kata "ditunggangi". Â
Frasa ini terakhir "hidup" hampir 20 tahun lalu sehingga wajar jika mayoritas mahasiswa terlebih pelajar, tidak paham. Â
Apa itu melawan konstitusi? Wiranto menyebut, anggota DPR yang akan dilantik merupakan wakil rakyat hasil pemilu. Karena pemilu merupakan amanat konstitusi, maka siapa saja yang bermaksud menggagalkan, berarti melawan konstitusi.
Sesederhana itu. Jika dianggap sebagai nasehat dari kakek, tentu sudah sangat lugas dan cheto (Jawa: terang benderang).
Persoalannya, Wiranto kurang tepat dalam menempatkan substansinya. Bahkan jika ditarik lebih jauh, seperti ada kesengajaan untuk mengaburkan esensi demo itu.
Pertama, siapa yang memproduksi narasi "menggagagalkan" pelantikan DPR, dan juga Presiden/Wakil Presiden? Selain kelompok "tidak jelas" yang menumpang isu, narasi itu dibangun sendiri oleh penguasa. Elemen-elemen penguasa dan para pendukungnya yang gemar menaikkan narasi "menggagalkan" dengan tujuan membelah opini.
Mahasiswa, juga pelajar, telah berulangkali menyatakan, aksinya tidak dimaksudkan untuk menurunkan Presiden Joko Widodo, menggagalkan pelantikan periode kedua Jokowi, atau pelantikan anggota DPR/MPR, DPD dan DPRD. Â