Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jika RKUHP Disahkan, Ningsih Tinampi Bisa Terancam Hukuman 3 Tahun Penjara

20 September 2019   10:52 Diperbarui: 20 September 2019   15:42 7915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ningsih Tinampi sedang mengobati pasien. Foto: KOMPAS.com/istimewa

Secara harfiah, pasal itu dapat ditafsirkan jika pasien Ningsih Tinampi atau dukun lainnya, mengalami sakit setelah diobati maka bisa pasien bisa melaporkan dan polisi dapat menggunak pasal itu untuk menjeratnya.

Persoalannya, tidak mudah membuktikan apakah suatu pengobatan oleh paranormal atau dukun, berakibat sakit lebih lanjut, terkecuali cacat fisik. Sebagai contoh, seseorang yang sebenarnya terkena penyakit liver, lalu berobat ke paranormal dan ternyata sakitnya bertambah parah. Tentu perlu pemeriksaan medis untuk mendapatkan bukti jika sakit lanjutannya disebabkan oleh pengobatan alternatif.  

Artinya, tidak mudah untuk membuktikan unsur tersebut. Jika pun dilakukan pembuktian terbalik, di mana paranormal itu diminta membuktikan dirinya memiliki kekuatan gaib, juga harus disertakan ahli yang memahami ilmu gaib. Sementara ilmiah- termasuk medis, tidak dikenal hal-hal demikian itu.

Selain pasal santet, pasal-pasal lain dalam RUU KUHP memang sangat kontroversial. Pemidanaan pasangan kumpul kebo juga multitafsir dan akan bersinggungan dengan ranah agama serta ada-istiadat. Sebab dalam UU Perkawinan, nikah siri dan nikah adat diakui, namun ada embel-embel harus didaftarkan. Jika menggunakan tafsir dalam RUU KUHP, apakah pasangan nikah adat dapat dipidana karena tidak terdaftar sehingga dapat mengabaikan UU Perkawinan yang bersifat lex specialis?

Belum lagi pasal karet terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sejak dahulu pasal ini sudah ditentang karena berpotensi membukam kritik. Frasa "penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden" tidak memiliki batasan yang jelas sehingga setiap kritik terhadap Presiden atau Wakil Presiden akan sangat mudah ditafsirkan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk penghinaan.

Kita mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU KUHP ternyata masih banyak mengandung kelemahan. Cukup sudah warisan yang ditinggalkan anggota DPR dan pemerintahan periode 2014-2019 dengan "mengamputasi" kewenangan KPK. Jangan ditambah yang lain.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun