Pengembalian mandat tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden Joko Widodo dapat dimaknai sebagai jebakan politik sehingga akan dijadikan dasar percepatan revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Untuk menunjukkan keseriusannya menolak revisi, mestinya para komisoner KPK mengundurkan diri.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi dianggap menyetujui revisi UU KPK usai menyerahkan surat ke DPR berisi poin-poin yang menjadi perhatian pemerintah. Jokowi mengklaim telah menolak empat poin yang dianggap berpotensi melemahkan lembaga antirasuah terkait revisi UU yang menjadi inisiatif DPR tersebut.
Bukan saja klaim tersebut tidak tepat karena sebagian memang tidak diusulkan DPR, persetujuan Jokowi terhadap revisi UU KPK membuat terkejut banyak pihak karena tidak sesuai dengan janji politiknya. Sejumlah pihak, termasuk para pendukungnya, memprotes.
Pimpinan dan pegawai KPK ikut memberikan reaksi. Ketua KPK Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang merespon dengan mengembalikan mandat kepada Presiden. Salahs atu alasannya karena pihaknya tidak dilibatkan dalam pembahasan.
Pengembalian mandat menjadi polemik karena dua hal. Pertama, langkah itu tidak dikenal dalam UU KPK. Pasal 32 hanya menyatakan komisioner KPK berhenti karena masa tugas berakhir, meninggal dunia atau mengundurkan diri.Â
Kedua, komisioner KPK bisa dianggap tengah berpolitik dan seperti dikatakan pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, menjebak Presiden. Anggapan itu berkaitan dengan kuatnya penolakkan KPK terhadap figur tertentu, terutama Inspektur Jenderal Firli Bahuri yang kini berstatus ketua KPK terpilih.
Saut Situmorang menyebut Firli melakukan pelanggaran etik berat saat menjabat Deputi Penindakan KPK karena beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak yang tengah dalam penyelidikan perkara korupsi. Salah satunya Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi (TGB).
Pertanyaan besar dari perkara ini adalah sikap pegawai dan pimpinan KPK yang "ikut campur" dalam menentukan calon pimpinan KPK. Seyogyanya KPK sebagai lembaga hanya sebatas memberikan masukan kepada panitia seleksi sebagai bahan pertimbangan, tidak "ikut menentukan" siapa yang harus menggantikan mereka.
Kini setelah pimpinan KPK 2019-2023 terpilih dan Presiden (sepertinya) menyetujui revisi UU KPK, maka pimpinan KPK mestinya tidak lagi dalam posisi memaksa pihak lain, dalam hal ini Presiden, untuk bersikap. Pimpinan KPK yang tidak menyetujui upaya pelemahan harus berani mengundurkan diri agar terhindar dari kesan politis.
Kita sangat prihatin dan masygul dengan kematian KPK. Tetapi hal itu tidak dapat dijadikan alas pembenar bagi pimpinan KPK untuk berpolitik. Kita mendorong sikap tegas pimpinan KPK untuk menolak upaya itu dengan cara mengundurkan diri. Tidak perlu "memaksa" Presiden untuk berbelas kasihan pada nasibnya.