Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi, Pemindahan Ibu Kota, dan Sriwijaya

30 Agustus 2019   01:36 Diperbarui: 30 Agustus 2019   11:29 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain pusat Ibu Kota yang baru. Foto: ist 

Siapa yang berhak menulis sejarah? Siapa yang kemudian berhak membantah tulisan sejarah? Lubang hitam-ruang kosong, sejarah adalah keniscayaan dan oleh karenanya bebas tafsir!

Geger klaim Budayawan Betawi Ridwan Saidi jika Kerajaan Sriwijaya fiktif sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. Posisinya sama seperti klaim nama Mahapatih Majapahit bukan Gajah Mada tapi Gaj Ahmada, dan juga keraguan kebenaran Perang Bubat antara prajurit Kerajaan Sunda dengan Bhayangkara Majapahit.

Jika nama Gaj Ahmada dapat kita anggap hanya igauan orang-orang yang "mabuk agama", dan keraguan atas terjadinya Perang Bubat- yang disebut hanya karangan Belanda untuk memecah suku Jawa dengan Sunda, hanya demi kepentingan politik lokal kekinian, maka klaim Sriwijaya kerajaan fiktif, anggap saja hanya tawaran perspektif dari seseorang yang sudah sepuh. Tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi sampai dibawa ke ranah hukum.

Jika kemudian ada yang berpendapat penjungkirbalikan "fakta" sejarah akan mempengaruhi "kisah" perjalanan suatu bangsa, suruh mereka melihat kembali siapa yang menulis sejarah itu dan apa motif di baliknya. Sebab (umumnya) sejarah ditulis oleh pemenang. Para penulis kitab zaman dulu, yang kemudian dijadikan rujukan hari ini, adalah para pujangga istana.

Kebanyakan dari kitab itu ditulis untuk mencatat kebesaran, bahkan semata untuk mengagungkan,  raja yang sedang berkuasa, sehingga sangat terbuka kemungkinan berbeda dengan kondisi sebenarnya.

Tidak perlu berkelana ke masa ratusan tahun lampau. Bahkan sejarah pemberontakan PKI yang baru terjadi "kemarin" di mana para pelaku dan korbannya masih banyak yang hidup, juga menyisakan banyak lubang hitam. Maka bukan hal yang mustahil jika lubang hitam itu kelak akan diisi, diberi interpretasi, sesuai kondisi zaman.

Bukti sejarah yang paling minim disalahinterpretasikan adalah berupa monumen yang besar dan agung. Tidak cukup dengan prasasti sebesar Kedukan Bukit. Lihatlah Candi Borobudur. Selama masih berdiri, maka sulit dibantah sebagai warisan dari zaman Syailendra. Itu sebabnya upaya Fahmi Basya mengklaim Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman, gagal total karena bukti yang ada jelas merujuk pada tempat pemujaan pemeluk agama Buddha Mahayana.

Dari perspektif ini, upaya Presiden Joko Widodo memindahkan Ibu Kota dapat dipahami. Jika pemindahan Ibu Kota terlaksana, maka sampai seribu tahun mendatang, atau bahkan selama Indonesia masih berdiri, namanya akan abadi dan sulit untuk diklaim sebaliknya karena adanya bukti fisik yang agung berupa Ibu Kota.  Misalnya kelak, entah 100 tahun lagi ada yang menulis, Presiden Indonesia periode 2019-2024 adalah Prabowo Subianto, maka dengan mudah dipatahkan dengan keberadaan Ibu Kota baru tersebut.

Jika ada yang berpendapat nama presiden akan abadi dan tidak mungkin dihilangkan selama negara itu berdiri, coba tanya generasi saat ini, siapa Presiden  Indonesia antara tahun 1948-1949. Bahkan dalam beberapa buku sejarah (resmi), nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Presiden Syafruddin Prawiranegara, tidak ada.

Jangan bilang Syafruddin tidak bisa disebut sebagai presiden karena hanya mengepalai pemerintahan darurat. Faktanya, penyerahan mandat tersebut memiliki tujuan agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Fakta lainnya ada acara khusus penyerahan (pengembalian) mandat dari Syafruddin kepada Soekarno pada tanggal 14 Juli 1949.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun