jika tidak sejalan dengan ideologi dan mengancam keamanan NKRI. FPI pun terancam menjadi mumi.
Presiden Joko Widodo melempar bola panas ketika menyatakan "sepenuhnya mungkin" melarang Front Pembela Islam (FPI)Pernyataan keras Presiden Jokowi menjadi menarik karena saat ini proses Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Ormas yang telah diajukan FPI ke Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri masih dalam kajian.
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, ada 10 syarat yang belum dipenuhi FPI termasuk rekomendasi Kementerian Agama hingga AD/ART. Selain itu, FPI belum menandatangani berkas AD/ART yang dikirim, punya masalah sekretariat, belum mengantongi sejumlah surat pernyataan, dan lainnya.
Selain syarat formal, Kemendagri, menurut Tjahjo juga masih mendalami dan melakukan evaluasi dari aktivitasnya selama sebelumnya, termasuk track record organisasinya.
Namun FPI memiliki pandangan berbeda. Menurut pengacaranya, Sugito Atmo Prawiro belum keluarnya SKT untuk FPI bukan terkait masalah persyaratan yang belum dipenuhi, melainkan ada masalah politik.
Seperti diketahui SKT milik FPI dengan nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 yang dikeluarkan tanggal 20 Juni 2014 telah habis masa berlakunya sejak 20 Juni 2019 lalu. Jika tidak segera mendapat SKT baru, FPI akan terkendala untuk melakukan aktivitas meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82 Tahun 2013 yang menyatakan pendaftaran ormas ke lembaga terkait bersifat sukarela. Negara juga tidak dapat menetapkan ormas yang tidak mendaftar sebagai terlarang, atau melarang kegiatannya sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.
Persoalannya, meski tidak dilarang melakukan kegiatan, tetapi tanpa mengantongi SKT tentu FPI akan kesulitan untuk memberitahukan kegiatan yang akan dilakukan kepada pihak kepolisian. Jika pun dipaksakan, kepolisian bisa membubarkan kegiatan tersebut dengan alasan ilegal, mengganggu ketertiban umum atau bahkan pelanggaran hukum. Dengan alasan demikian, FPI tidak bisa berlindung di balik putusan MK karena tindakan aparat kepolisian sudah sesuai dengan isi putusan MK.
Jika terjadi kondisi demikian, maka FPI menjadi seperti mumi di mana anggota dan simpatisan FPI tetap ada- tidak membubarkan diri bahkan mungkin lebih militan karena merasa didzalimi, tetapi tidak bisa melakukan aktifitas akbar, terutama demonstrasi, sebagaimana sebelumnya.
Sangat berbahaya bagi FPI jika SKT tidak diterbitkan namun tetap melakukan kegiatan. Sangat mungkin pemerintah akan membekukan FPI sebagaimana yang terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebab berdasarkan UU Ormas Nomor 16 Tahun 2017 pemerintah melalui menteri terkait memiliki kewenangan untuk mencabut status badan hukumnya sehingga statusnya berubah menjadi ormas terlarang.
Pertanyaannya, apakah "sikap keras" terhadap FPI akan menyelesaikan persoalan intoleransi dan ideologi kebangsaan ataukah justru kian menajamkan polarisasi atas dasar asumsi liar seperti pengekangan kebebasan berserikat, anti- Islam dan asumsi-asumsi lain yang belum tentu benar tetapi terlanjur berkembang dan dipercaya oleh sebagian masyarakat? Lebih berbahaya lagi jika kebijakantersebut semakin menebalkan kecurigaan adanya unsur balas dendam dari kelompok tertentu di lingkar Istana.
Tidak adakah kebijakan lain? Kita sepakat dan wajib hukumnya bagi seluruh warga bangsa, termasuk ormas, untuk mematuhi aturan dan taat kepada Pancasila. Tetapi tafsir atas hal itu mestinya tidak menjadi monopoli penguasa seperti yang terjadi di masa lalu. Alangkah bijak jika hal-hal demikian diselesaikan terlebih dulu melalui peradilan, sehingga memenuhi asas keadilan sekaligus menghindari asumsi negatif terhadap pemerintah.