Dalam konteks koalisi, permintaan 10 kursi yang diajukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kepada Presiden Terpilih Joko Widodo merupakan hal yang wajar. Tetapi menentukan posisi menteri yang diinginkan, sangat tidak elok.
Adalah Wakil Sekretaris Jendral PKB Daniel Johan yang menyebut PKB telah mengusulkan 10 nama untuk menjadi menteri. Sebagai partai pengusung, PKB merasa berhak mendapat jatah menteri sebagaimana pada periode sekarang. Â
Seperti diketahui dalam Kabinet Kerja Jokowi -- JK, PKB mendapat 3 menteri yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang dijabat Eko Putro Sandjojo, Menteri Tenaga Kerja yang dipegang Hanif Dhakiri serta Menteri Pemuda dan Olahraga yang dipercayakan kepada Imam Nahrowi.
Meminta tambahan jatah menteri, sepertinya menjadi sesuatu yang wajar ketika disandingkan dengan kekuatan PKB di DPR. Jika saat ini hanya memiliki 52 kursi, periode mendatang jumlah bertambah menjadi 58 kursi. Perolehan suara PKB secara nasional juga meningkat dari 13.336.982 (2014) suara menjadi 13.570.097 suara (2019).
Menurut Daniel Johan, pihak mengincar posisi menteri yang sudah dipegangnya- kecuali Kemenpora, menteri pertanian dan menteri-menteri lain yang bersinggungan dengan langsung dengan masyarakat.
Kemenpora tidak lagi diinginkan  dengan pertimbangan akan diisi kalangan milenial. PKB juga tidak menginginkan posisi menteri Agama karena menurut Daniel, menjadi jatah Nahdlatul Ulama (NU). Daniel meminta agar jatah untuk PKB dipisah dengan jatah untuk NU meski keduanya bagian Nahdliyin.
Keinginan itu akan dibawa oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam pembahasan kabinet dengan Jokowi. Muhaimin menegaskan pembahasan tersebut akan dilakukan pertengahan bulan Juli ini.
Sulit dipungkiri, PKB dan NU memiliki peran cukup signifikan dalam membantu kemenangan Jokowi -- Ma'ruf Amin di Pilpres 2019. Beberapa survei menunjukkan, kelompok Islam modernis yang diwakili Muhammadiyah cenderung mendukung Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno. Sementara mayoritas warga NU yang dikategorikan sebagai umat Muslim tradisional diyakini mendukung Jokowi -- Ma'ruf.
Fakta itu kemudian dijadikan  alat tawar PKB yang merupakan representasi politik warga Nahdliyin. PKB terlihat cukup yakin menggunakan kekuatannya untuk "mendikte" Jokowi dalam menentukan komposisi kabinet mendatang.  Kepercayaan diri Muhaimin dan pengurus PKB sangat mungkin terinspirasi keberhasilannya "memaksa" Jokowi mengubah keputusan calon wakil presiden.
Seperti diketahui, awalnya diberitakan Jokowi cenderung memilih Mahfud MD. Namun di detik-detik terakhir diganti Ma'ruf Amin setelah mendapat tekanan dari Muhaimin dan Ketua Umum PPP (saat itu) Romahurmuziy atau Romy.
Sekali lagi,. dalam konteks koalisi, permintaan PKB adalah sesuatu yang wajar. Bagi-bagi kursi kabinet untuk partai pendukung sudah menjadi tradisi sejak era Susilo Bambang Yudhoyono.
Tetapi menjadi tidak elok manakala PKB menentukan posisi menteri yang diinginkan. Sikap PKB menjadi terkesan mendegradasi hak prerogatif presiden. Terlebih jika permintaan tersebut disertai dengan "ancaman" keluar dari koalisi sebagaimana yang dilakukan saat Muhaimin mendesak agar Jokowi memilih kader NU sebagai calon wakilnya.
Apalagi ketika permintaan tersebut diumbar ke publik karena menyangkut kewibawaan seorang presiden. Jika kelak komposisi kabinet Jokowi -- Ma'ruf seperti yang diinginkan partai pendukung, maka sulit mengingkari ada faktor "keterpaksaan" di dalam penyusunannya. Hal ini tentu akan mewarnai perjalanan kabinet mendatang karena meski dalam sistem presidensial loyalitas menteri hanya kepada presiden, tetapi faktanya loyalitas menteri-menteri yang berasal dari partai selalu mendua.
Mundurnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur merupakan contoh nyata dari kondisi demikian. Bukankah jika saat itu semua pihak meyakini loyalitas menteri tegak lurus hanya kepada presiden, Asman Abnur tidak perlu mundur hanya karena PAN tidak lagi mendukung Jokowi?
Kita berharap Jokowi tetap leluasa menggunakan hak prerogatifnya dalam menyusun komposisi kabinet mendatang. Bahwa ada semacam keharusan untuk berbagi kekuasaan dengan partai dan mungkin juga ormas pendukung, hendaknya tidak sampai mendegradasi hak istimewa tersebut.
Terlebih sudah tidak ada beban untuk Pilpres 2024 sehingga mestinya Jokowi tidak perlu "takut" menolak nama-nama calon menteri yang tidak sesuai dengan kriteria  yang diinginkan, sekali pun berasal dari partai pengusung. Kabinet periode kedua Jokowi harus mampu menjawab sejumlah persoalan mendasar yang diwariskan kabinet sekarang seperti tingginya harga kebutuhan pokok, utang luar negeri, lapangan kerja dan lain-lain.
Kabinet Jokowi juga harus lebih solid dan sejuk sehingga akan menularkan energi positif kepada masyarakat. Hindari memilih menteri-menteri yang hanya akan menimbulkan banyak kontroversi untuk menyudahi pembelahan di tengah masyarakat atas dasar pilihan politik, agama dan suku bangsa. Â Â Â Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H