Tuduhan pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla sebagai neo-orde baru yang menjadi dasar gugatan kubu Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno ke Mahkamah Konstitusi (MK) cukup mencengangkan karena keluar dari  konteks sengketa pemilihan presiden.
Dua pertanyaan besarnya adalah, apakah jika pemerintahan Jokowi merupakan neo-orde baru, melanggar aturan Pilpres 2019? Pertanyaan berikutnya, fakta-fakta mana yang bisa dijadikan alas penguat tuduhan (argumen) tersebut?
Tudingan pemerintahan Jokowi  - JK mirip orde baru bukan sekali ini didengungkan. Bahkan jauh sebelumnya sejumlah elemen, termasuk Kontras pernah mengungkapkan hal serupa. Tetapi menjadi hal itu sebagai materi gugatan, setidaknya  argumen pemohon, dalam sengketa pilpres, tetap mengejutkan.
Sebab secara umum, materi gugatan berkisar pada adanya dugaan kecurangan yang menyebabkan salah satu pasangan peserta kontestasi kehilangan suara yang diperoleh. Materi lain adalah adanya dugaan kecurangan yang bersifat pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sehingga mempengaruhi hasil pilpres.
Alih-alih membawa bukti kecurangan di ribuan TPS seperti yang dituduhkan selama ini, tim hukum Prabowo -- Sandi yang dikomandoi Bambang Widjojanto justru menyoal  pemerintahan Jokowi -- JK karena diduga neo-orde baru. Bahkan dalam perbaikan pemohon Senin (10/6) kemarin, Bambang menyoal posisi Ma'ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas di Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Â
Tentu naif mengatakan Bambang Widjojanto tidak paham undang-undang, apalagi tata cara beracara di MK. Bambang memiliki track record mentereng dalam hal penegakan hukum dan sangat ahli di bidangnya. Catatan kemenangan beberapa perkara di MK menjadi alasnya. Â
Bahwa Bambang pernah disangka melakukan tindak tidak terpuji dalam perkara gugatan Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010 lalu, yang kini kembali dicuatkan, tidaklah menggugurkan prestasi yang pernah diraih. Â Sepakterjangnya selama ini bisa menjadi garansi seorang Bambang Widjojanto tidak mungkin melakukan perbuatan culas tersebut. Terlebih dirinya bukan pengacara flamboyan yang tubuhnya dibalut manik-manik bernilai milyaran rupiah.
Apa yang dilakukan Bambang Widjojanto dan kawan-kawan sepertinya sebuah perangkap untuk menjebak kubu Jokowi agar terbawa dalam perdebatan tersebut sehingga pada akhirnya harus membuktikan jika pemerintahan Jokowi bukan perwujudan neo-orde baru. Meski ada aturan di MK di mana beban pembuktian ada di pihak yang mendalilkan perkara, tetapi dalam perkara ini Bambang akan menggiring sehingga pihak tergugat pun harus menghadirkan bukti untuk menyangkal tuduhan yang dilemparkan. Â Â
Dari urai tersebut, sudah terbayang jika proses peradilan di MK akan berlangsung seru. Terlebih di kubu Jokowi -- Ma'ruf ada nama yang tidak kalah gahar yakni Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum Tata Negara yang tidak perlu diragukan kepiawaiannya dalam beracara di pengadilan. Oleh karenanya kita berharap proses hukum dapat berjalan transparan dan elegan tanpa perlu dibumbui intrik pribadi, apalagi menyerang sisi yang tidak relevan seperti pribadi Bambang maupun Yusril.
Kembali kepada pokok bahasan, apakah  pemerintahan Jokowi -- JK neo-orde baru? Jika didasarkan pada satu-dua kebijakan, ada kemungkinan ke arah itu. Contohnya pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di mana Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah. BPIP sangat mirip dengan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Uraian selengkapnya di siniÂ