Untuk sebuah peristiwa politik, 21 tahun bukan waktu yang pendek. Adagium politik bisa berubah dalam hitungan detik, menjadi alasnya. Sayangnya keberhasilan menumbangkan rezim diktator dan membuka pintu kedaulatan politik seutuhnya bagi rakyat Indonesia, kini dibayang-bayangi hantu demokrasi.
Adalah Menko Polhukam Wiranto yang melengkapi puzzle kecurigaan itu dengan pembentukan Tim Asistensi Hukum. Meski berisi 24 pakar termasuk Mahfud MD (belakangan menolak), Romli Atmasasmita, dan Muladi, tim Wiranto tak ubahnya Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru.
Salah satu cirinya mengawasi ucapan, pemikiran, dan tindakan warga bangsa yang dianggap melanggar hukum. Saat ini sudah ada 13 tokoh yang ucapan dan pemikirannya tengah dikaji anggota tim asistensi hukum termasuk Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais.
Tim bentukan Wiranto seolah melengkapi kemunduran di bidang hukum terkait masifnya penerapan pasal makar. Dua dekade lalu, pasal ini disamakan dengan pasal karet  karena memiliki cakupan yang sangat luas. Di akhir tahun 2016, pasal ini sempat menjerat sejumlah aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, Rachmawati Soekarnoputri, Firza  Husein, dll. Namun kasus mereka seperti berhenti di tengah jalan, menggantung, karena tidak sampai ke pengadilan.
Kini sejumlah orang kembali dihadapkan dengan pasal makar termasuk Eggi Sudjana yang sudah diperiksa dan ditangkap, Lieus Sungkharisma, Permadi, Â dan yang terbaru Amien Rais, Rizieq Shibab dan Bachtiar Nasir yang dilaporkan oleh politisi PDIP Dewi Tanjung.
Tidak salah jika Direktur Lokataru Haris Azhar menuding pemerintah memiliki mesin otoriter. Â
Apakah kita akan kembali ke masa kegelapan? Apakah pengorbanan para aktivis dan  mahasiswa untuk meraih hak kebebasan berbicara dan berpendapat bagi warga bangsa yang dijamin konstitusi, akhirnya sia-sia? Akankah pemerintah kembali menjadi pemegang tunggal tafsir kebenaran sehingga menafikan keragaman- taman sari, pikiran anak-anak bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mumgkin berlebihan. Kita pun masih percaya Presiden Joko Widodo bukan diktator dan tidak sedang membangun kediktatoran.
Tetapi kebijakan para pembantunya, sangat-sangat menguatirkan karena mengancam kelangsungan cita-cita reformasi. Sulit untuk percaya, Presiden tidak mengetahui hal itu, meski kita tidak pernah berpikiran Presiden merestuinya.
Jika kita sepakat, bahwa keragaman pikiran menjadi hal utama dalam sebuah negara demokrasi, bahwa tafsir kebenaran bukan mutlak milik penguasa, bahwa bhinneka tunggal ika harus dimaknai sebagai penghormatan pada keragaman SARA dan juga pikiran, maka kita wajib menolak tim pengawas pikiran dan ucapan masyarakat, menolak penggunaan pasal makar yang sangat subjektif dan multitafsir.