Perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) di Pemilu 2019 diperkirakan turun dibanding Pemilu 2014. Banyak spekulasi yang menyebut, penurunan tersebut akibat sikap politik Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais yang sering kontroversial. Benarkah?
Meski masih menduduki posisi ke-8, namun berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga, perolehan suara PAN secara nasional diperkirakan hanya di kisaran 6-6,57 persen alias melorot karena pada Pemilu 2014 memperoleh 7,59 persen.
Bahkan di Jawa Tengah yang sudah menyelesaikan rekapitulasi manual tingkat provinsi, PAN sama sekali tidak mendapat kursi untuk  DPR RI. Itu berarti Ahmad Mumtaz Rais- anak ketiga Amien Rais yang maju dari dapil Jateng VI, gagal ke Senayan. Padahal di Pemilu 2014, PAN Jateng sukses mengirim 8 kadernya ke DPR.
Kegagalan PAN tidak terlalu mengejutkan, tetapi terlalu gegabah menyimpulkan sebagai akibat sikap politik Amien Rais yang frontal menyerang Presiden Joko Widodo dan terlibat dalam beberapa demo terhadap Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Justru jika Amien Rias tidak bersikap demikian, kemungkinan PAN lebih terpuruk lagi.
Posisi dilematis PAN terjadi setelah estafet kepemimpinan dari Hatta Rajasa ke Zulkifli Hasan. Beberapa kadernya menginginkan Zulkifli membawa gerbong partai ke kubu Jokowi agar "tidak diganggu" sebagaimana yang dialami Partai Golkar dan PPP sebagai dampaknya kuatnya polarisasi antara Koalisi Merah Putih versus Koalisi Indonesia Hebat.
Persoalannya, Amien Rais tidak ingin PAN terkesan sebagai partai yang hanya menjadi kendaraan kader-kadernya untuk memburu jabatan. PAN yang menjadi representasi suara Muhammadiyah harus tetap menjadi partai "pintar" sekaligus lokomotif politik di Indonesia tanpa menanggalkan peran utamanya sebagai rumah bagi suara Islam modernis.
Untuk mewujudkan hal itu, Amien Rais yang sudah sempat vakum dari dunia politik, kembali turun gunung setelah Zulkifli membawa gerbong PAN ke istana. Tidak tanggung-tanggung, Amien Rais sangat total dalam menghimpun organisasi Islam yang melakukan perlawanan kepada pemerintah. Front Pembela Islam (FPI) yang semula hanya ormas "penjaga kemaksiatan" dalam rangka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar karena identik dengan sweeping warung remang-remang dan paling jauh menjadi pengawas rumah makan di bulan Ramadhan, mendadak mendapat posisi strategis dalam peta perlawanan terhadap pemerintahan Jokowi.
Puncaknya terjadi ketika Ahok mulai dengan berbagai kebijakan yang dianggap memojokkan Islam. Isu pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah, larangan bagi guru untuk mewajibkan siswa memakai jilbab, hingga keseleo lidah di Kepulauan Seribu menjadi jalan Amirn Rais kembali ke pentas politik. Amien Rais terjun langsung bersama massa FPI menggelar sejumlah demo tanpa melibatkan kader-kader Muhammadiyah, apalagi PAN.
Perlahan namun pasti, "pengkhianatan" PAN karena masuk ke kubu Jokowi, dapat disamarkan. PAN leluasa menjalani politik dua kaki. Bahkan Amien Rais hampir saja berhasil menjadi tokoh sentral baik di Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI maupun Persaudaraan Alumni (PA) 212, bahkan FPI.
Keinginan Amien Rais untuk mempertahankan PAN sebagai ikon rumah politik kaum Islam terpelajar dan modernis, sekali pun secara garis politik berada di kubu pemerintah yang menjadi "target" perlawanan, nyaris tercapai dengan sempurna jika saja tidak terpeleset di menit terakhir menjelang penentuan koalisi untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk menantang Jokowi di Pilpres 2019.