Tragedi Mei 1998 kembali ramai menjadi topik bahasan. Bukan saja bertepatan dengan peringatan peristiwa tersebut, sebagaimana yang dilakukan Badan Eksekuitf Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti, namun juga terkait riuhnya suara-suara penolakan terhadap hasil Pilpres 2019 yang akan diumumkan 22 Mei mendatang.
Pertanyaan apakah peristiwa kerusuhan 1998 akan terulang, ramai dibahas di media. Sebagian mengamini dengan didasari kuatnya suara penolakan terhadap penetapan hasil Pilpres 2019 oleh KPU dari pendukung Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno yang beranggapan ada kecurangan. Ancaman pengerahan massa jika KPU menetapkan pasangan Joko Widodo -- Ma'ruf Amin sebagai pemenang, sudah terdengar sejak hasil quick count dirilis sejumlah lembaga.
Sinyal kemungkinan akan ada aksi massa juga diperkuat dengan kehadiran berkompi-kompi anggota Brimob dari berbagai daerah ke Jakarta. Terlebih menurut Menko Polhukam Wiranto, pengerahan personel Brimob ke Jakarta sesuai analisis keamanan yang dilakukan Mabes Polri dan untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat.
Artinya aparat keamanan sudah mengendus adanya kekuatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya gangguan keamanan. Hal yang kemudian dibantah oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko dengan menyebut pengerahan personel hanya langkah preventif.
Kita tidak meragukan militansi sebagian pendukung Prabowo. Tetapi militansi sekelompok orang saja tidak cukup untuk melahirkan people power. Ada beberapa alasan mengapa kita meyakini people power tidak akan terjadi usai penetapan pemenang Pilpres 2019.
Pertama, ketiadaan isu yang membumi. Isu kecurangan dalam gelaran pilpres hanya milik satu kelompok yakni kubu Prabowo. Kelompok nonpartisan, terutama mahasiswa, menganggap isu tersebut belum cukup sebagai perekat perjuangan karena cenderung hanya menguntungkan satu kelompok.
Kedua, partai pendukung tidak satu suara, bahkan Demokrat terang-terangan menolak aksi di luar konstitusi. PKS yang diharapkan menjadi motor penggerak, sudah mengharamkan ganti presiden. PKS yang mendapat keuntungan elektoral terbesar sebagai dampak dukungannya kepada Prabowo-Sandi, tidak ingin dicap sebagai penggerak aksi yang berpotensi menimbulkan chaos tersebut.
Ketiga, ini yang terpenting, salah satu penyumbang massa dalam aksi people power 1998 yang menumbangkan kekuasaan Soeharto, adalah PDI kubu Megawati Soekarnoputri (kini menjadi PDI Perjuangan).
Sikap represif aparat keamanan kepada PDI kubu Megawati saat itu, ikut menjadi penyulut ledakan dan amuk massa. Situasi saat ini justru kebalikannya di mana PDIP tengah menjadi penguasa.
Apakah people power tidak bisa terjadi tanpa kelompok nasionalis yang dimotori PDIP? Tentu tidak sesederhana itu. Ada situasi dan kondisi yang sangat berbeda antara 1998 dengan saat ini.