Petahana Joko Widodo punya cara tersendiri untuk mengolok-olok hasil survei lembaga-lembaga independen alias nonpartisan terkait tingkat elektabilitas peserta Pilpres 2019. Tetapi jika pesan yang disampaikan salah dimaknai, justru dapat merugikan dirinya.
Sedikitnya sudah 3 kali Presiden Jokowi mengatakan elektabilitasnya lebih rendah dibanding pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pertama ketika mengunjungi Sumatera Selatan, 25 November 2018 lalu. Saat itu Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin mengatakan elektabilitasnya di Sumsel baru mencapai 37 persen.
Rendahnya elektabilitasnya berkaitan dengan dua persoalan yang dihadapi masyarakat yakni jatuhnya harga karet dan minyak kelapa sawit. Jokowi pun meminta tim kampanye daerah (TKD) setempat menjelaskan persoalan tersebut agar masyarakat paham dan tidak "mengkonversikan" kekesalannya menjadi dukungan kepada lawan.
Pernyataan kedua disampaikan Jokowi di Kota Bogor. Meski tidak secara spesifik mengungkap data elektabilitasnya, namun Jokowi mengingatkan relawan Pospera tentang kekalahan di Pilpres 2014 lalu yang cukup telak. Â Saat itu Jokowi-Jusuf Kalla hanya bisa meraih 34,27 persen di Kabupaten Bogor dan 38,23 persen di Kota Bogor.
Jokowi menyebut kekalahannya disebabkan karena masifnya isu dirinya kader PKI dan antek asing. Jokowi pun membantah hal itu dengan menyebut dirinya masih balita saat PKI dibubarkan dan saat menjadi presiden sudah berhasil mengambail-alih Freeport, Blok Rokan dan lain-lain dari perusahaan asing.
Terbaru Jokowi mengatakan elektabilitasnya di Riau baru 42 persen, sedang lawan mendapat 54 persen. Pada Pilpres 2014, Jokowi-JK memang kalah di Riau. Namun margin yang dibeber Jokowi cukup mengejutkan karena terjadi penurunan cukup signifikan.Â
Pada Pilpres lalu Jokowi-JK memperoleh 49,88 persen sementara lawannya, Prabowo-Hatta Rajasa mendapat 50,12 persen suara. Marginnya tidak sampai satu persen. Sementara saat ini, mengacu pada data yang disampaikan Jokowi kepada TKD Riau tanggal 15 Desember lalu, marginnya mencapai 12 persen.
Memang ada kesamaan di mana di 3 wilayah yang dibeber, Jokowi kalah dii pilpres sebelumnya. Sebab Jokowi-JK juga kalah di Sumsel  dengan hanya meraih 48,74 sedang Prabowo-Hatta Rajasa meraup 51,26. Artinya, paparan elektabilitas yang disebutnya berdasar data internal, bisa jadi hanya sebagai pelecut semangat relawan agar mereka tidak terlena dengan hasil survei yang menempatkan Jokowi-Maruf menang di Sumatera meski tipis.
LSI Denny JA menyebut di Sumatera Jokowi unggul satu persen dibanding Prabowo dengan elektabilitas 44,8 persen. Sementara di Jawa, Jokowi unggul di semua provinsi dengan elektabilitas mencapai 52,6 sementara Prabowo hanya 25,9 persen. Jokowi juga unggul di semua pulau besar lainnya.
Kita tidak menafikan kemahiran berpolitik Jokowi. Strategi demikian tentu sudah melalui kajian mendalam. Tetapi kita juga tidak bisa mengingkari adanya relawan yang hanya berani tampil di komunitasnya sendiri. Paparan elektabilitas rendah bisa berbalik merugikan dirinya karena beberapa alasannya.
Pertama, relawan patah semangat karena lawan terlihat lebih dominan. Relawan amatir akan kehilangan kepercayaan diri untuk mengkampanyekan jagoannya karena merasa sedang berada di basis lawan. Bahkan ketika berdebat di warung kopi pun mereka  tidak akan berani bersuara lantang.