Muram. Titik pertama jatuh tepat di atas daun Teki. Orang-orang bergegas, berlarian dengan wajah pucat dan lelah. Â
"Mengapa dia belum beranjak? Biasanya hanya menikmati kelam dan bergegas pergi ketika hujan mulai turun," ujar Batu.
"Iya, dia hanya senang menikmati gulungan awan gelap namun tidak akan membiarkan dirinya kehujanan," timpal Daun Ganyong .
"Dia terlalu sayang pada dua merpatinya..."
"Huh..." potong Kumbang Tanah sambil mendengus. "Dasar bodoh. Dia mencumbu kelam bagai kekasih. Kelam itu yang akhirnya akan menelan dan memisahkan dengan dua merpatinya!"
Lelaki itu menoleh pada Kumbang Tanah dengan wajah masam. "Aku tak butuh ocehanmu. Tidakkah kau lebih bodoh dariku? Setiap hari hanya menggangsir tanah dan menimbunnya kembali..."
"Aku menjalankan kodratku, menjaga keseimbangan taman ini," jawab Kumbang Tanah.
"Mengapa kamu tidak berpikir yang sama terhadapku? Bahwa aku tengah menyeimbangkan alam? Bukankah jika semua bahagia, tidak ada lagi cermin untuk mengetahui duka, memahami luka?"
"Seniman gagal," ejek Kecubung.
Lelaki itu tertawa. Balas mengejek. Seisi taman ini adalah sekumpulan si bodoh, batinnya.
"Aku tidak sebodoh prasangkamu," protes Burung Sikatan. "Tapi aku maklum," lanjutnya, "karena kamu melihat dari hati keruh sehingga semua tampak bodoh."