Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Salah Kaprah Muhaimin Soal Sebutan "Gus"

4 Desember 2018   10:07 Diperbarui: 4 Desember 2018   20:20 1706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya sejumlah orang dengan gelar santri dan "Gus" rupanya mendapat perhatian serius Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Namun mengapa calon wakil presiden Sandiaga Uno dan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang menjadi sasaran?

Menurut Muhaimin fenomena munculnya sebutan santri dan "Gus" sebagai upaya tokoh politik menjaring pendukung. Mereka menggunakan simbol agama yang dianggap paling mudah menyentuh pemilih baik di pentas pemilu legislatif maupun presiden. 

Simbolik yang paling mudah, kata Cak Imin,  adalah agama, karena mudah menyambung dengan psikologi massa sekaligus praktik keagamaan sehari-hari. 

Sayangnya, gus-gus baru atau gus milenial ini, tidak dibekali dengan ilmu agama yang mumpuni. Muhaimin lantas mencontohkan label gus yang disematkan kepada Tommy Soeharto dan label santri post-modernis yang diberikan Presiden PKS Sohibul Iman kepada Sandiaga Uno.

Muhaimin juga menyoroti munculnya kiai baru yang tidak memiliki ilmu agama yang mendalam. Wakil Ketua MPR ini lantas mengajak masyarakat untuk mengikuti kiai yang benar-benar memiliki ilmu agama mendalam.  Kiai dengan ilmu pas-pasan sangat berbahaya karena ilmunya masih sebatas untuk menyalahkan orang lain.

Benarkah sebutan "Gus" hanya untuk mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam?  Bisa benar, namun bisa juga keliru. Sebab "Gus" merupakan kependekan dari bagus yang dalam bahasa Jawa bermakna luas yakni baik, pintar, ganteng. Panggilan "Gus" khusus untuk anak laki-laki yang di dalamnya mengandung pujian dan doa.

Awal munculnya panggilan ini berasal dari dalam keraton untuk panggilan anak-anak keluarga raja yakni raden bagus yang disingkat den bagus. Lama-lama panggilan itu dipakai juga oleh kalangan priyayi Jawa di luar keraton namun dengan menghilangkan raden sehingga tinggal bagus atau "Gus".

Dalam perkembangannya, "Gus" menjadi panggilan wajib untuk anak laki-laki pemilik pondok pesantren atau anak kyai kharismatik (khos) jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama (NU) berdiri . Panggilan "Gus" perlahan menjadi semacam gelar bagi anak-anak kiai terutama di kultur NU.  

Kini sebutan "Gus" menjadi simbol ketokohan seseorang dari sisi agama, namun khusus di kalangan NU. Artinya mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama, umumnya dipanggil "Gus" oleh Nahdliyin meski dirinya bukan anak kiai atau pemilik pondok pesantren. Tidak mengherankan jika seseorang yang dipanggil "Gus" sangat dihormati karena dianggap memiliki kedalaman ilmu agama Islam. 

Hampir semua tokoh  NU, terutama yang muda, mendapat panggilan"Gus". Tokoh yang telah mengangkat sebutan "Gus" ke pentas nasional adalah Presiden RI ke 4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Jadi awalnya panggilan "Gus" tidak mencerminkan ketokohan apalagi kedalaman ilmu agama yang dimiliki. Saat ini pun, di sejumlah keluarga priyayi di Jawa masih menggunakan panggilan gus untuk anak laki-lakinya.

Dengan demikian sepanjang tidak dimaksudkan sebagai penghormatan di bidang agama, panggilan "Gus" kepada Tommy Soeharto tidak salah. Terlebih Tommy juga bukan bagian dari warga NU kultural. 

Kasus serupa pernah terjadi saat Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dipanggil "Gus" di acara deklarasi calon presiden di Surabaya tahun 2013 lalu.  Sejumlah orang mempertanyakan "gelar" yang disematkan secara mendadak tersebut.  

Beda halnya dengan sebutan habib karena bersifat khusus yakni hanya untuk keturunan Nabi Muhammad s.a.w yang dicintai. Tentunya tidak sembarang orang bisa dipanggil habib. Menurut Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith tidak semua keturunan nabi juga habib. Rabithah Alawiyah adalah lembaga yang melakukan verifikasi terhadap seseorang yang mengaku sebagai keturunan nabi. Lembaga yang menghimpun WNI keturunan Arab ini sudah berdiri di Indonesia sejak 1928.

Muhaimin tidak bisa melarang seseorang dipanggil atau memiliki panggilan "Gus" karena secara umum sebutan itu tidak mensyaratkan pada hal-hal yang bersifat khusus sebagaimana habib. "Gus" juga bukan simbol keagamaan. Jika Muhaimin mendalilkan bahwa di NU sebutan "Gus" bersifat sakral, maka "keluhannya" cukup ditujukan kepada warga NU yang memakai atau yang memberikan sebutan gus untuk orang yang tidak memiliki ilmu agama mumpuni.   

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun