Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Buni Yani, terdakwa kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan demikian jaksa sudah dapat mengeksekusi putusan Pengadilan Negeri Bandung yang telah menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti mengunggah potongan video dengan dibubuhi caption yang tidak sesuai isi video.
Dalam persidangan sebelumnya, Buni Yani mengakui dirinya bersalah dalam melakukan transkrip ucapan Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yakni yang mestinya "dibohongi PAKAI surat Al Maidah 51" menjadi hanya "dibohongi surat Al Maidah 51".
Namun Buni Yani keukeuh mengatakan tidak pernah mengedit video tersebut. Buni Yani hanya melakukan  transkrip, mengunggahnya melalui akun Facebook bersamaan dengan video yang sudah dipotong  durasinya namun tanpa mengubah isinya. Barang bukti yang dihadirkan dan juga hasil uji laboratorium forensik yang dilakukan Polda Metro Jaya menguatkan argumennya.
Setelah kasasinya ditolak sebagaimana di tingkat banding, yang berarti sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), maka meski kecewa, tidak ada alasan bagi Buni Yani untuk lari atau mengelak dari jerat hukum.
Buni Yani wajib tunduk dan menghormati proses hukum yang telah dijalani. Jika memang masih ada ganjalan dan memiliki bukti baru atau novum, silakan ajukan peninjauan kembali (PK) sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Dengan telah inkrahnya kasus hukum Buni Yani dan dinyatakan bersalah, apakah akan berdampak pada putusan Ahok yang sebelumnya telah divonis 2 tahun penjara? Tentu tidak karena ini dua kasus berbeda. Dalam amar putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tegas menyebutkan Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama.
Putusan terhadap Ahok menepis anggapan umat Islam yang berdemo hingga berjilid-jilid  karena semata termakan fitnah Buni Yani. Sebab ada atau tidak ada postingan Buni Yani, semisal tahu dari media lain, tetap tidak mengurangi ketersinggungan umat Islam karena kitab sucinya dinista. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut pidato Ahok menista agama, tentu juga tidak didasarkan pada postingan Buni Yani melainkan kajian terhadap isi pidato Ahok di Kepulauan Seribu secara keseluruhan. Â
Harus dipahami, ucapan Ahok di Kepulauan Seribu saat memaparkan program kerjanya sambil mengutip Al Maidah 51, tidak berdiri sendiri. Dalam "klarifikasi"  yang diberikan setelah kasus tersebut ramai dibicarakan,  Ahok mengatakan dirinya sekolah Islam 9 tahun dan yakin surat Al Maidah 51 berisi tentang larangan Muslim untuk  berteman dengan Yahudi dan Kristen, bukan larangan untuk memilih pemimpin.
Padahal dalam tafsir lembaga-lembaga kajian Islam , kata auliya atau awliya memiliki banyak makna. Ada yang menyebutnya sebagai teman dekat, namun lebih banyak lagi yang mengartikannya sebagai pemimpin. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kemenag Muchlis M Hanafi menerangkan, kata awliya di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya.
Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 - 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliy diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia. Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan pelindung dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan teman-teman.
Dari pemaparan itu, jelaslah, jika kata Awliya memiliki banyak makna sesuai konteksnya. Tidaklah salah atau berbohong jika ada ulama yang mengatakan awliya atau auliya adalah pemimpin manakala konteks berbicaranya terkait soal kepemimpinan. Â