Petahana Joko Widodo mencoba realitis dengan peta politik di Jawa Barat. Meski menginginkan menang tebal, namun Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin memiliki feeling hanya bisa menang tipis melawan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pada kontestasi Pilpres 2019. Karena salah kostum?
Jawa Barat memang selalu menjadi titik didih kontestasi elektoral nasional baik Pemilu maupun Pilpres. Dengan daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 32,6 juta jiwa, Jokowi sulit mengabaikan Jabar sekalipun bisa menguasai Jawa Tengah dan memiliki kans cukup besar untuk memenangi Jawa Timur.Â
Di samping kalah telak pada Pilpres 2014 di mana Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla hanya memperoleh 9.530.315 (40,22 persen), jauh di bawah perolehan suara Prabowo-Hatta Rajasa yang mencapai 14.167.381 (59,78 persen), penyebab lainnya adalah hasil Pilgub Jabar 2018.
Meski sang pemenang, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum yang kini telah dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar memberikan dukungan terbuka, namun kekalahan pasangan Tubagus Hasanudin-Anton Charlian yang diusung PDIP dan tingginya perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang dijagokan Gerindra-PKS, menjadi warning serius bagi Jokowi.
Bisa saja pesimisme Jokowi dimaksudkan untuk melecut relawannya karena diucapkan saat acara konsolidasi dengan kader parpol pendukungnya se-Jabar. Tetapi adanya fakta-fakta di atas juga tidak bisa diabaikan. Bukan rahasia lagi, isu-isu berbalut keagamaan (Islam) di tatar Sunda masih cukup kental. Padahal sisi ini menjadi kelemahan utama Jokowi yang berhaluan nasionalis.
Ditambah lagi solidnya pendukung serta simpatisan Gerindra dan PKS. Ingat, di Pilpres 2014, Jokowi hanya menang di wilayah timur Jabar yakni Subang, Indramayu, dan daerah yang dikenal sebagai basis PDIP yakni Kabupaten dan Kota Cirebon.
Artinya, Jokowi belum memiliki basis di Jabar. Kemenangan PDIP di Pemilu 2014 yang digelar sebelumnya tidak berbanding lurus dengan hasil Pilpres. Bisa dikatakan ini "aib" sehingga dipahami mengapa kali ini Jokowi tampak begitu all out.
Keputusan Jokowi untuk menghadiri peringatan Hari Pahlwan di Bandung, bukan di Surabaya, atau di Kalibata Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, sangat mungkin menjadi bagian dari strategi meraih simpati warga Jabar. Jokowi pun ikut menggowes sepeda dalam acara bertajuk "Bandung Lautan Sepeda", sebagai salah satu dari rangkaian acara Hari Pahlawan.
Sayangnya timnya kurang peka ketika "mendandani" Jokowi dengan pakaian dan atribut ala Bung Tomo, salah satu tokoh sentral dalam pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945 yang kini dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Â Â Â Â
Benar, Hari Pahlawan identik dengan pertempuran Surabaya dan pidato Bung Tomo yang menggelegar. Tetapi Jabar juga memiliki pahlawan yang terlibat dalam perang kemerdekaan yang di mata warga Jabar tidak kalah heroik yakni Muhammad Toha, salah tokoh penting di balik peristiwa Bandung Lautan Api. Muhammad Toha gugur saat meledakkan gudang amunisi milik tentara Sekutu di Kota Bandung, 24 Maret 1946.
Jika pun tidak ada yang "memperhatikan" hal itu, secara politik dandanan Jokowi kali ini tidak memiliki greget. Akan lebih afdol dan matching jika Jokowi  mengenakan kostum ala Muhammad Toha. Terlebih para pengiring di belakangnya, termasuk Ridwan Kamil, berpakaian khas Sunda dan lainnya berkostum sporty. Akibatnya Jokowi tampak "aneh". Padahal biasanya Jokowi cukup teliti terkait hal-hal demikian.