Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Jenderal Blakasuta Terlempar ke Bangku Penonton

7 September 2018   14:40 Diperbarui: 7 September 2018   15:38 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Gatot Nurmantyo saat masih aktif sebagai Panglima TNI. Foto: Kompas.com

Kini,  harapan Gatot untuk tetap ikut dalam kontestasi Pilpres tinggal pada posisi ketua tim pemenangan atau tim sukses Jokowi-Maruf. Tetapi sepertinya hal itu mustahil karena di sana ada Jenderal (Purn) Moeldoko, yang juga mantan Panglima TNI sekaligus senior Gatot. Akibatnya, kelompok relawannya pun mencari jalan masing-masing. 

Relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR) berlabuh ke pasangan Jokowi-Maruf dan mengubah kepanjangan GNR, menjadi Gerakan Nasional untuk Rakyat. Sedang relawan lainnya yakni Militan Gatot Nurmantyo (Militan GN), berubah menjadi Gerakan Nusantara Prabowo Sandi (GN Padi) setelah relawannya menyatakan dukung kepada Prabowo-Sandiaga.

Mengapa rencana Gatot Nurmatyo menjadi peserta Pilpres 2019 gagal total dan kini hanya bisa menyaksikan dari bangku penonton? Mari kita lihat beberapa kemungkinannya.

Pertama, kegagalan lobi politik. Sebelumnya Gatot diketahui sudah menemui hampir sejumlah pimpinan partai politik termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Strategi ini tidak tepat karena membuat ragu pihak yang dilobi.

Gatot menjadi terlihat sangat ambisius, tidak peduli "warna" partai pengusung yang penting dirinya bisa nyapres. Dalam politik, "cara" ini sulit diterima kawan apalagi lawan. Kegagalan Muhaimin dan AHY menjadi cawapres, antara lain juga disebabkan karena faktor tersebut.

Kedua, kontroversi di sekitar kebijakannya saat menjadi Panglima TNI. Selain pernyataan yang dianggap sebagian kalangan tidak ramah terhadap minoritas, dan persenjataan SAGL Polri, kebijakan Gatot memutar film G30S/PKI di tangsi-tangsi militer dengan melibatkan masyarakat juga menuai pro-kontra yang sangat tajam. Kubu PDIP paling keras menolak pemutaran film yang dulu digunakan untuk mendiskreditkan Soekarno sekaligus mengkultuskan Soeharto.

Demikian juga saat Gatot secara sepihak menghentikan kerjasama militer dengan Australia  gegara ada perwira Negeri Kanguru memplesetkan Pancasila menjadi Pancagila. Kebijakan Gatot dianggap melampaui kewenangannya karena keputusan kerjasama militer ada di tangan Presiden.

Ketiga, terlalu percaya diri. Sokongan para ulama dan umat Muslim yang gerah dengan "kriminalisasi" ulama, yang dianggap sebagai kebijakan Jokowi, melenakan Sang Jenderal. Gatot tidak terlihat berupaya membangun opini positif demi menaikkan elektabilitas karena meyakini dirinya pasti akan dilirik partai.

Padahal, meski kepercayaan terhadap hasil survei sangat rendah, tetapi tetap efektif mempengaruhi persepsi publik. Dengan elektabilitas Gatot yang sangat rendah, sulit bagi partai politik manapun untuk sungguh-sungguh mendukungnya. Malah yang ada hanya "digoreng" dengan hembusan angin surga.

Salam @yb

*Data diolah dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun