Tragis! Jika melihat sepakterjangnya selama menjadi KSAD hingga Panglima TNI, sulit dipercaya Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bisa tersingkir dari arena pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Â Bukan hanya gagal menjadi kontestan, Gatot pun tidak dilirik menjadi tim sukses kubu petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin maupun penantanganya, pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno.
Padahal sepanjang tahun 2016-2017, popularitas Gatot Nurmantyo sejajar dengan Jokowi maupun Prabowo. Bahkan tidak sedikit yang menempatkan jenderal asal Tegal berdarah Cilacap sehingga bicaranya sering tanpa tedeng aling-aling (blakasuta), sebagai penantang potensial Jokowi.
Selain berhasil menempatkan TNI sebagai penyeimbang kekuatan politik dan menjadi kebanggan warga sipil, Gatot juga dekat dengan kalangan ulama kharismatik yang memiliki ribuan pengikut. Sebut saja KH Muhammad Arifin Ilham, pengasuh pondok pesantren Az-Zikra, KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, pemilik pondok pesantren Da'arut Tauhiid, hingga ulama-ulama dari kubu GNPF MUI (kini GNPF (Ulama).
Ada dua momen yang melambungkan nama Gatot. Pertama ketika "mendukung" demo yang menuntut Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diadili karena dianggap menista agama Islam. Ucapan Gatot ketika berkelit dari sergapan pertanyaan Najwa Shihab di acara Mata Najwa, menjadi viral dan menuai pujian selangit.
Kedua, ketika memerintahkan jajarannya menahan senjata semi militer jenis SAGL yang diimpor Polri. Senjata tersebut rencananya akan digunakan oleh Brimob untuk menghadapi gerakan sparatis di Papua dan juga kelompok teroris.
Namun Gatot memiliki pandangan berbeda. Senjata tersebut dianggap mampu merontokkan tank baja ringan sehingga membahayakan, atau setidaknya menyaingi peralatan tempur TNI. Sebab sesuai UU, hanya TNI yang boleh memiliki persenjataan tempur. Ucapan dirinya akan menyerbu markas kepolisian  jika memiliki senjata yang bisa menembak tank atau pesawat terbang, langsung viral. Terlebih ketika TNI kemudian menahan persenjataan SAGL yang baru tiba dari luar negeri.
Kasus  ini sempat menimbulkan polemik berkepanjangan sampai akhirnya Menko Polhukam Wiranto turun tangan. Tetapi Gatot hanya mau melepas senjata tanpa amunisi. Penahanan amunisi SAGL baru selesai setelah Gatot pensiun dan menyerahkan jabatannya kepada Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Gatot juga dikenal dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagian kalangan tidak ramah terhadap kelompok minoritas dan kaum non-Muslim. Salah satu yang sangat diingat publik, baik dalam maupun luar negeri adalah tentang proxy war dan pengungsi asal Tiongkok.
Namun karena itu pula nama Gatot kian diperhitungkan sebagai lawan Jokowi. terlebih kemudian bermunculan kelompok relawan pendukungnya. Bahkan pada April 2018. Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) sudah mendeklarasikan Gatot Nurmatyo sebagai capres. Â Â
Peluang Gatot mulai meredup setelah Jokowi berhasil mengunci Golkar, PPP dan terutama PKB. Sebab partai yang tersisa, di luar koalisi Jokowi tinggal Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN di mana hanya bisa membentuk satu koalisi karena terganjal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 suara nasional hasil Pemilu 2014.
Upaya Demokrat mengajak PPP atau PKB untuk melengkapi poros ketiga bersama PAN, kandas karena Demokrat "memasang" Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Jika saja saat itu Demokrat mau memasang Gatot dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, jalan sejarah tentu akan berbeda.