Eksistensi Partai Golkar terancam hilang di balik keriuhan Pilpres 2019. Penyebabnya, tidak ada kader Golkar yang menjadi kandidat baik capres maupun cawapres.Â
Sebagai partai pemenang kedua Pemilu 2014, ketidakhadiran wakil Golkar, partai yang dipenuhi politisi-politisi top jebolan orde baru, tentu mengundang banyak pertanyaan. Hal ini juga yang kemudian memicu kegelisahan kader-kader di bawah dan akhirnya mengkristal menjadi letupan untuk meninjau kembali posisi Golkar di Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Lontaran adanya kegelisahan dan ancaman perpecahan internal disampaikan Anggota Dewan Pembina Partai Golkar Fadel Muhammad. Sejumlah kader Golkar, bahkan pengurus, sudah menyuarakan keinginannya untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mantan Gubernur Gorontalo (2001-2009) dan Menteri Kelautan dan Perikanan (2009-2011) tersebut mengatakan, posisi Golkar saat ini sangat rawan .
Menurut Fadel, ketiadaan kader Golkar di Pilpres 2019 karena calon petahana Presiden Joko Widodo yang sudah didukung sejak era Setya Novanto, memilih didampingi Ketua MUI Ma'ruf Amin daripada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, menjadi faktor utama munculnya bibit perpecahan di internal partainya. Lebih menyesakkannya lagi, meski Kyai Ma'ruf bukan kader partai, namun merupakan "titipan" PKB dan PPP. Padahal perolehan suara keduanya di Pemilu 2014 jauh di bawah Golkar.
Fadel pun mengungkap jasa Golkar kepada Jokowi yang tidak bisa pandang sebelah mata. Di DPR, ungkit Fadel, Golkar lebih mati-matian membela semua kebijakan Jokowi dibanding PDIP. Golkar juga sudah mengkampanyekan hingga ke daerah-daerah dengan ongkos yang mahal. Namun nyatanya Airlangga tidak dilirik.
Faktor kedua, kehadiran Sandiaga Uno. Fadel tentu sangat paham jika Sandiaga Uno yang berdarah Gorontalo dari garis ayahnya, Razif Halik Uno alias Henk Uno, memiliki daya tarik luar biasa di kalangan masyarakat Gorontalo dan sekitarnya.
Status Sandiaga sebagai keturunan Raja Gorontalo dan penerus trah Ta lo Kabulu, yang berarti orang yang doanya selalu dikabulkan, sudah cukup menjadi alasan bagi warga Gorontalo untuk memilihnya.
Terlebih Sandiaga juga mewarisi darah Bugis, sementara dari ibunya mengalir darah Sunda. Ditambah lagi, keluarga Sandiaga pernah tinggal di Riau untuk kurun waktu lama sehingga memiliki "rasa" Melayu Sumatera.
Meski demikian, Fadel menyebut suara yang tetap menginginkan Golkar berada di gerbong KIK, tidak kalah besar. Oleh karenanya, keputusan apakah Golkar tetap akan di KIK, atau membiarkan kadernya memilih sesuai aspirasinya, akan dibahas dalam rapat internal bulan depan.
Mengapa tiba-tiba Golkar "mengancam" Jokowi? Kita memahami 2 alasan di atas. Tetapi tidak cukup kuat untuk menciptakan perpecahan mengingat Airlangga tidak memiliki "senjata" untuk menekan Jokowi selain gerbong partai. Padahal tanpa Golkar, perahu Jokowi sudah cukup aman.
Terlebih sebelum keluar keputusan soal cawapres, Golkar tidak menciptakan opsi lain, semisal membentuk poros alternatif dengan Demokrat, yang bisa digunakan untuk menaikkan posisi tawar. Jika sekarang baru diributkan, tentu sudah sangat terlambat.