Presiden PKS Sohibul Iman memberikan label santri kepada calon wakil presiden (Cawapres) Sandiaga Uno. Tentu yang dimaksud bukan santri secara umum sebagaimana dipahami selama ini, melainkan santri post-islamisme. Ternyata ini bukan label sembarangan karena memiliki tujuan khusus.Â
Penunjukan Sandiaga- yang saat itu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebagai cawapres untuk mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2019, memang mengejutkan banyak pihak, bahkan sempat membuat gaduh.Â
Kegemparan dan penolakan bukan hanya melanda partai-partai pendukung, terutama Demokrat yang tercermin dari serangan frontal Wakil Sekjen Andi Arief, namun juga dari kalangan ulama kubu oposisi, khususnya yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Jika Andi Arief menuding penunjukkan Sandiaga bentuk politik transaksional dengan mahar Rp 1 triliun untuk PAN dan PKS, GNPF Ulama sempat meminta Prabowo menggantinya dengan menyodorkan dua nama yakni pengasuh pondok pesantren Az-Zikra KH Muhammad Arifin Ilham dan pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Tetapi Prabowo kekeuh dengan keputusannya. Dari sisi ini, keputusan Prabowo layak diacungi jempol, jika dibandingkan dengan petahana Presiden Joko Widodo yang mengubah keputusan cawapresnya dari anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di menit-menit akhir karena muncul penolakan dari partai koalisi, khususnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang membawa serta nama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai alat penekan. Meski mungkin saja keteguhan hati Prabowo karena satu dari tiga hal ini.
Terpilihnya Sandiaga menjadi tamparan hebat bagi PKS yang telah menyodorkan sembilan nama cawapres dari internal partai sebagai bagian dari kontrak politik yang sudah disepakati sebelumnya.Â
Sebagai partai dakwah, PKS memiliki kewajiban moral untuk mendorong ulama menjadi umaro (pemimpin formal) di berbagai tingkatan. Itu sebabnya PKS merasa sangat terusik ketika Demokrat bergabung dengan membawa nama Komandan Kogasma Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).Â
PKS sampai harus "meminta tolong" GNPF Ulama. Organisasi di bawah kendali Habib Rizieq Shihab ini kemudian merekomendasikan nama Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri bersama Ustad Abdul Somad (UAS). Namun karena UAS menolak, Salim Segaf menjadi calon tunggal cawapres yang wajib dipilih Prabowo.
Seperti diungkap di awal, meski ditekan, Prabowo tetap memilih Sandiaga. Hal itu membuat PKS grogi karena tidak memiliki pilihan lain. Jika pun memaksa diri membangun koalisi dengan Demokrat, harus juga membawa PAN untuk menggenapi ketentuan presidential threshold karena gabungan kursi DPR kedua partai hanya 101 dari 112 yang diperlukan. Sementara opsi bergabung ke kubu Jokowi jelas berpotensi menimbulkan cibiran bukan hanya dari internal namun juga kalangan luar.
Tetapi menerima pasangan Prabowo-Sandiaga juga menodai tagline nasionalis-agama (ulama) yang selama ini diusung. Terlebih Sohibul terang-terangan menyebut Prabowo bukan Muslim yang taat, bahkan masuk kelompok abangan alias Islam KTP. Sementara Sandiaga, meski dikenal taat beribadah, jelas bukan representasi ulama. Menerima pasangan Prabowo-Sandiaga berarti mengakui kegagalan Sohibul mengekploitasi ke-abangan-an Prabowo.
Dalam kondisi terjepit, meluncurlah ungkapan santri post-islamisme yang disematkan pada Sandiaga. Apa itu santri post-islamisme? Sebutan tersebut hanya enak didengar, dan sepertinya memang hanya untuk penghias, karena rancu secara makna.Â