Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menikmati Pilpres Hasil Racikan Jokowi, dengan Dua Catatan

12 Agustus 2018   09:31 Diperbarui: 13 Agustus 2018   11:18 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi bersama Prabowo di Istana Merdeka. Foto: tribunnews.com

Prabowo Subianto jelas bukan pion Joko Widodo. Tetapi fakta membuktikan, ketua umum Partai Gerindra itu mudah luluh jika Presiden sudah meminta tolong. Berangkat dari situ, kita akan membedah mengapa Pilpres 2019 benar-benar sudah sesuai skenario atau racikan Jokowi, dengan berapa catatan.

Presiden Jokowi merasakan betul dampak negatif dari polarisasi kekuatan pendukungnya dan pendukung Prabowo usai Pilpres 2014.

Perbedaan pilihan berubah menjadi caci maki dan saling hina dengan sandaran agama dan kesukuan. Saling serang bukan hanya di media sosial, namun juga portal-portal pemberitaan di jagat maya, termasuk portal berita arus utama. Situasi terus memanas dan nyaris meledak karena ditumpangi kepentingan tangan-tangan tak terlihat yang memproduksi  isu dengan balutan kekecewaan dari massa lalu.

Isu tersebut menemukan momentum perekatnya karena adanya aksi dari internal - setidaknya yang berada di kubu, Jokowi. Buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" yang merupakan otobiografi dokter Ribka Tjiptaning Proletariati yang terbit tahun 2003 atau saat Presiden Megawati berkuasa, dan naiknya Basuki Tjahaja Purnama yang non Muslim ke kursi gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi ke Istana Merdeka adalah dua contoh aksi yang dijadikan alat pembenar atas isu-isu tersebut.        

Di sisi lain tengah terjadi ghirah keagamaan (Islam). "Santri internet" belajar dari situs-situs berpaham "radikal" tanpa filter, tanpa guru, sehingga banyak di antaranya yang menelan begitu saja terhadap tafsir yang disodorkan tanpa berusaha mencaritahu apakah hadits yang disampaikan sebagai dasar argumen sahih, hasan atau bahkan mungkin dhaif (lemah).

Meski ghirah nasionalisme (dan keagamaan di luar Islam) juga tidak kalah menggelegak, namun dalam hal jumlah (produksi dan dibagikan), ujaran kebencian terhadap tokoh agama (Islam) lebih sedikit dibanding terhadap tokoh nasionalis seperti Jokowi.

Sebagai contoh, jika kita menggunakan keyword "jokowi pki" akan ditemukan 3.060.000 result, sedang jika menggunakan keyword "habib mesum" didapati 1.770.000  (sampai 12/8/18 pukul 09.34 WIB). Hasil pencarian akan jauh lebih sedikit lagi jika menggunakan keyword "rizieq mesum".

  • {Namun contoh tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dan sebagai catatan, harus juga dipahami tulisan negatif belum tentu diproduksi dan diviralkan oleh lawan. Dalam banyak kasus, tulisan yang menyerang tersebut justru dibuat oleh timnya sendiri dengan tujuan menjadikan dirinya sebagai korban (playing victim)}.  

Jokowi paham dan mulai cemas melihat situasi yang terjadi. Jika kontetasi Pilgub DKI saja mampu menaikkan suhut politik nasional- Jokowi menyebutnya hangat, bagaimana jika situasi yang sama terjadi di ajang pilpres?  

Untuk mencegah hal itu terjadi, Jokowi dan kubunya, lantas melakukan antisipasi, dengan sedikitnya  tiga hal.

Pertama, membatasi jumlah peserta kontestasi. Partai-partai kubu pemerintah mati-matian mengamankan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 menyangkut presidential threshold sangat alot karena pemerintah (baca: Jokowi) menghendaki ambang batas 25 persen kursi di DPR maupun suara nasional hasil Pemilu 2014. 

Sedang kubu oposisi, meminta nol persen. Angka 10-15 persen pun ditolak pemerintah. Akhirnya dalam lobi-lobi terakhir disepakati 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil Pemilu 2014.

Dengan demikian, melihat peta politik saat ini, tidak ada satu partai politik pun yang bisa mengusung pasangan capres dan cawapres tanpa berkoalisi sehingga peserta Pilpres 2019 maksimal hanya mungkin  diikuti tiga pasang calon. Adanya ambang batas sekaligus menutup peluang bagi partai baru untuk mengusung pasangan calon.

Memang pada pilpres sebelumnya juga digunakan ambang batas yang sama. Bedanya, Pilpres 2014 dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Saat UU-nya diketok, belum diketahui prosentase perolehan tiap-tiap partai yang akan dijadikan dasar penghitungan ambang batas. 

Sedang pada 2019, pelaksaaan pilpres dan pemilu legislatif digelar serentak sementara basis untuk menghitung ambang batas menggunakan hasil pemilu lima tahun sebelumnya yang sudah diketahui. Ada kesan, presidential threshold untuk Pilpres 2019 diketok berdasarkan hitung-hitungan untuk mengamankan jalan Jokowi merengkuh periode kedua, bukan berdasar aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Kedua, memperbanyak partai pendukung Jokowi melalui pembagian kursi di kabinet. Golkar, PPP, bahkan PAN yang masih kanan-kiri oke, sudah diberi peningset. Tujuannya untuk mengunci agar tidak terbentuk poros di luar Jokowi dan Prabowo.

Ketiga, mengamankan Prabowo. Ini strategi yang paling brilian. Jokowi tahu peta kekuatan Prabowo. Mau dipaksa pakai isu apa pun, perolehan suara Prabowo sulit melampaui Jokowi. Buktinya? Seluruh hasil survei, bahkan yang dilakukan oleh Gerindra, elektabilitas Prabowo belum pernah melampaui Jokowi. Bahkan di saat isu PKI dan anti Islam mencapai titik tertinggi yakni di medio 2016-2017. Silahkan lihat hasil survei semua lembaga di rentang waktu tersebut.

Benar, saat ini hasil survei sulit dijadikan pegangan akibat "kesalahan" fatal di dua momen besar yakni Pilkada 2017- khususnya DKI, dan Pilkada 2018, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahkan jika mau ditarik ke belakang, lembaga survei juga sudah dipermalu saat Pilgub DKI 2012 di mana pasangan petahana Foke-Nara yang selalu unggul dalam survei dipecundangi Jokowi-Ahok.

Tetapi ada fakta menarik yang bisa dijadikan tambahan penguat argumen di atas yakni dua kali kekalahan Megawati Soekarnoputri dari Susilo Bambang Yudhoyono yakni di Pilpres 2004 dan 2009 dengan perolehan suara nyaris sama. Di Pilpres 2004 putaran pertama, Megawati -- Hasyim Muzadi memperoleh 26,61 persen, dan di putaran kedua 39,39 persen, sedang SBY 33,57 persen dan 60,62 persen.

Di Pilpres 2009 yang hanya diikuti 3 pasangan, hanya berlangsung satu putaran karena SBY sudah memperoleh 60,8 persen dan Megawati- yang berpasangan dengan Prabowo, hanya mendapat 26.79 persen, nyaris sama dengan putaran pertama Pilpres 2004. Artinya Megawati hanya memiliki 26 persen pemilih loyal. Penambahan hingga 13 persen di putaran kedua Pilpres 2004 berasal dari pemilih mengambang (floating mass).

Hal yang sama terjadi juga pada SBY di mana perolehan suara di putaran kedua Pilpres 2004 nyaris serupa perolehan suara di Pilpres 2009 yakni di kisaran 60 persen.

Akankah hasil Pilpres 2019 akan sama dengan Pilpres 2014? Jika melihat hasil survei dan kecenderungan loyalitas pemilih, maka jawabannya sangat mungkin meski Prabowo mendapat tambahan dukungan Demokrat.  

Dan kemungkinan fakta itu juga yang digunakan tim Jokowi ketika mendorong Prabowo untuk kembali mencalonkan diri. Tidak tanggung-tanggung, yang melobi agar Prabowo mau rematch dengan Jokowi adalah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, hingga diucapkan sendiri oleh Jokowi  saat "berlatih kuda" di kediaman Prabowo di Hambalang.

Tawaran lain jika tidak mau rematch, Prabowo menjadi cawapres Jokowi. Duet keduanya diyakini akan sulit dikalahkan oleh siapa pun.

Selain hitung-hitungan tersebut, masih ada "kelemahan" lain Prabowo yang sangat menguntungkan Jokowi. Apa itu? Sifat melankolis Prabowo jika sudah disinggung "demi" keutuhan negara, "demi" NKRI.

Ada dua momen di mana Prabowo melakukan sesuatu yang mestinya tidak dilakukan jika menganut prinsip seperti Megawati dan SBY di mana permusuhan harus abadi meski kontestasi demokrasi sudah berakhir.      

Pertama saat Jokowi dihadapkan pada pilihan sulit karena "ada tekanan" untuk mengangkat (saat itu) Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri.

Di tengah tarik-ulur, BG dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus rekening gendut. Situasi semakin runyam karena DPR yang dimotori PDIP ternyata menyetujui usulannya. Jokowi tahu, ada jebakan dari kubu oposisi denga memanfaatkan "tekanan" PDIP pada dirinya. Namanya pasti hancur karena mengangkat Kapolri yang berstatus tersangka.

Jokowi pun "meminta" jaminan Prabowo ketika dirinya harus "melawan" kehendak PDIP, setidaknya seperti yang disuarakan kader-kadernya di DPR. Tidak disangka, Prabowo langsung bersedia sehingga Jokowi lantas menganulir pencalonan BG.

Kedua, saat merebak isu penista agama. Ada kelompok yang berusaha memboceng isu tersebut untuk menggulingkan Jokowi, setidaknya demikian menurut versi pemerintah. Jokowi pun kembali "meminta" tolong Prabowo yang dikiaskan dengan ungkapan "sampai terpaksa harus naik kuda". Lagi-lagi Prabowo mengiyakan. Padahal jika saja saat itu Prabowo diam saja, kemungkinan kelompok tersebut kian frontal dan oposisi di DPR tinggal menunggu.

Satu "bukti" lagi Prabowo mau "diatur" Jokowi adalah penunjukkan Sandiaga Uno sebagai cawapres. Banyak spekulasi liar yang menyebut penunjukkan Sandi merupakan hasil kompromi dengan Jokowi yang tidak mau Prabowo berpasangan dengan ulama dari kubu Rizieq Shihab karena berpotensi memanaskan situasi dengan isu-isu agama, meski masih perlu bukti lebih sahih benarkah isu agama selama ini berasal dari kubu tersebut- hanya berasal dari kubu tersebut?

Dari paparan di atas, jelaslah kini Pilpres 2019 sudah sesuai racikan Jokowi tanpa menafikan kemungkinan adanya bias dalam penafsiran terhadap data dan fakta.

Salam @yb
PS: data diolah dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun