Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumbar kegagalannya bergabung ke kubu Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. SBY kemudian memberikan penjelasan rinci upaya dirinya bergabung ke kubu Jokowi yang berakhir dengan kegagalan, usai bertemu Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
Kode kepada Jokowi atau playing victim? Hal ini perlu dipertanyakan jika menelisik penjelasan SBY seperti yang dimuat Kompas.com. Menurut SBY, dirinya secara intens bertemu dengan Presiden Jokowi di mana dalam setiap pertemuan tersebut selalu disinggung soal kemungkinan Partai Demokrat bergabung ke kubu Istana.
Meski Jokowi sudah memberikan garansi Demokrat akan diterima karena dirinya yang presiden, tetapi SBY masih ragu karena hubungannya dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri -- meminjan istilah SBY, belum ditakdirkan kembali normal.
Sempat muncul anggapan apa yang disampaikan SBY sebagai kode untuk meminta perhatian Jokowi. Politisi dari kubu Jokowi lantas ramai-ramai menyerang balik. Mereka membalikkan tudingan itu dengan mengatakan hambatan koalisi justru ada di SBY, bukan di partai pengusung. Menurut Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno, tawaran SBY terlalu tinggi . Bahkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) terang-terangan mengatakan SBY mematok posisi cawapres bagi  Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai syarat koalisi.
SBY sudah membantah tudingan itu dan memperingatkan Rommy agar hati-hati membuat statemen. Saat jumpa pers dengan Prabowo, SBY menegaskan koalisi Demokrat dan Gerindra bisa terwujud tanpa AHY sebagai cawapres. Â
Dugaan pernyataan SBY sebagai kode meminta perhatian Jokowi semakin kuat karena baik dengan Gerindra maupun PAN, tidak tercapai kesepakatan koalisi. SBY "memperalat" pertemuan dengan Prabowo dan Zulkifli Hasan untuk membidik tujuan lain. Logikanya, pertemuan antar top pimpinan lembaga -- dalam hal ini partai politik, hanya tinggal memfinalisasi draft kesepakatan yang sudah dibuat para pengurus partai di level sekjen ke bawah. Terlebih pertemuan tersebut "sengaja" dibuat heboh sehingga menyedot perhatian publik. Beberapa stasiun TV bahkan melakukan siaran langsung karena meyakini akan ada kejutan.
Jadi sangat wajar manakala  "publik" kecewa dan akhirnya menuding  SBY memiliki target lain karena pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan tingkat tinggi, selain basa-basi politik.
Benarkah demikian? Jika dilihat dari sisi lain di mana masih ada kemungkian SBY menjadi king maker kubu koalisi, dugaan lain justru lebih mengemuka. Secara tersirat SBY tetap "merendahkan" Jokowi dan hanya menganggapnya sebatas petugas partai. Hal ini terbaca ketika SBY menggunakan hubungannya dengan Megawati sebagai rintangan dirinya merapat ke kubu Istana. Meski Jokowi sudah "marah" dengan mengatakan 'saya presidennya', nyatanya SBY keukeuh menganggap Jokowi tidak akan bisa "melunakkan" hati Megawati agar mau menerima Demokrat.
Hal lainnya adalah dugaan SBY Â tengah memainkan peran sebagai pihak teraniaya alias playing victim.
Mari kita lihat alas argumennya. Pertama, SBY membeber "kepedihannya" sedemikian rupa. Salah satunya terkait intensitas kunjungannya ke Jokowi. Â Sebagai mantan Presiden dua periode, SBY sudah "merunduk" dengan mendatangi Jokowi yang lebih muda- dan berulangkali. Konon di bulan Mei 2018 saja, SBY dua kali mendatangai Jokowi di Istana Bogor. Dalam falsafah Jawa- kebetulan keduanya beretnis Jawa, sikap SBY sungguh luar biasa. Sebab kewajiban mendatangi ada pada yang muda tanpa melihat pangkat dan kedudukan. Dalam konteks sempit bisa dicontohkan ketika Jokowi mencium tangan orang-orang yang "dituakan" meski dirinya Presiden.
Kedua, SBY dengan ekspresi marah, mengatakan dirinya tidak menjadikan AHY sebagai syarat koalisi. Dengan bahasa lain, SBY mengatakan jika selama ini belum merapat ke Istana atau belum membentuk koalisi dengan Gerindra, bukan karena dirinya menginginkan AHY menjadi cawapres tetapi karena semata-mata ada hambatan lain yang berasal dari eksternal.