Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tolak Ide Menristekdikti Sadap Ponsel Dosen dan Mahasiswa

5 Juni 2018   18:47 Diperbarui: 5 Juni 2018   21:49 3280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengawasi lalu lintas komunikasi dengan cara menyadap alat komunikasi warga negara hanya boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap orang-orang yang dicurigai karena suatu tindak kejahatan. Kecuali kasus korupsi dan terorisme, penyadapan pun hanya bisa dilakukan atas izin ketua pengadilan. 

Atas dasar inilah ide Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir untuk memonitor lalu lintas komunikasi dosen dan mahasiswa, harus ditolak.

Ide kontroversial itu dilontarkan Menristekdikti sebagai reaksi atas maraknya aksi dan temuan benih radikalisme di kampus. Seperti diketahui Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri baru saja menggulung jaringan teroris yang "bermarkas" di kampus Universitas Riau (UNRI). Konon MNZ, salah satu terduga teroris yang baru berusia 33 tahun, punya kemampuan merakit bom triacetone triperoxide (TATP) yang dijuluki mother of satan karena memiliki daya ledak sangat tinggi (high explosive).

Dalam penggrebekkan itu, Densus 88 menyita 2 buah bom pipa siap ledak, granat dan bahan-bahan peledak jenis TATP. Bom tersebut konon akan digunakan oleh MNZ, RB alias D (34), dan OS alias K (32), yang semuanya merupakan alumni UNRI, untuk meledakkan gedung DPRD Riau dan DPR RI.

Ada juga pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang tengah mengawasi sejumlah kampus di Jawa Timur, termasuk Universitas Airlangga dan ITS, karena diduga sudah terpapar paham radikal. Demikian penangkapan terhadap beberapa dosen karena dianggap "mendukung" terorisme. 

Bahkan Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah, Profesor Suteki diberhentikan dari jabatannya karena dinilai membela Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibekukan pemerintah namun tengah mengajukan gugatan ke pengadilan. Suteki dianggap setuju dengan sistem negara khilafah yang sering didengungkan HTI.

Menristekdikti menyebut, ada kemungkinan saat ini sudah banyak kampus yang terpapar paham radikal. Untuk itu Kemenristekdikti akan melakukan pengawasan dengan cara mendata nomor handphone (HP)/ponsel dan akun media sosial milik dosen dan mahasiswa. Tujuannya untuk menjaga keamanan dan dalam rangka menciptakan kampus yang steril dari paham radikal. 

"Kalau mengganggu keamanan, apapun bentuk (pengawasan)- nya, harus dilakukan," kata Nasir.

Ide Menristekdikti tentu sangat mengejutkan, bahkan lebih mengejuitkan dari aksi penyerbuan Densus 88 Antiteror ke kampus UNRI. Belum diketahui siapa yang akan melakukan monitoring alat komunikasi para sivitas akademika.  

Jika dilakukan oleh Kemenristekdikti, maka jelas melanggar UU Telekomunikasi khususnya pasal 40 yang berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun" serta pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Informasi dan Transaksi Eelektronik dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara. Penyadapan hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang dalam rangka penegakan hukum atas izin ketua pengadilan.

Bagaimana jika dilakukan oleh Densus 88 Antiteror, BNPT atau Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab)- pasukan elit TNI yang dikhususkan untuk melakukan pemberantasan terorisme?

Benar penyadapan untuk kasus terorisme tanpa izin ketua pengadilan sudah diperbolehkan di dalam undang-undang antiterorisme hasil revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 yang baru disahkan DPR. 

Pada pasal 31A disebutkan "dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan lebih dulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme, dengan ketentuan selama-lama tiga hari penyidik harus sudah memberitahukan ketua pengadilan untuk mendapat persetujuan". Jangka waktu penyadapan bisa setahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk durasi waktu yang sama.

Tetapi harus dipahami, hanya mereka yang diduga terlibat dalam tindak kejahatan terorisme yang boleh disadap tanpa izin ketua pengadilan dan jangka waktunya pun dibatasi. Jika hal ini kemudian diberlakukan kepada seluruh civitas akademika, pertanyaannya apakah seluruh dosen dan mahasiswa di Indonesia sudah diduga terlibat jaringan terorisme? 

Tidak mungkin jika tujuannya hanya untuk database Kemenristekdikti karena data diri setiap mahasiswa, termasuk nomor teleponnya, tentu sudah ada di setiap kampus. Semakin tidak masuk akal jika tujuannya hanya itu tetapi semua dosen dan mahasiswa juga diwajibkan menyetor nama akun media sosialnya.

Kita wajib menolak ide Menristekdikti karena akan lebih "represif" dibanding pembentukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) semasa Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983). NKK/BKK sukses membungkam kekritisan mahasiswa kepada pemerintah usai meledaknya Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 yang menolak dominasi modal asing bersamaan dengan kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta.

Biarkan kampus menjadi kawah candradimuka yang mempertemukan ragam isu dan pemikiran. Jangan kekang kekritisan para mahasiswa. Jika memang ada yang menyimpang- terpapar radikalisme, tangkap dan proses sesuai hukum yang berlaku, tapi tidak dengan mengebiri kampusnya dan merugikan mahasiswa lain. 

Jika alasannya kesulitan dalam memantau, mari kita tanyakan fungsi intelijen yang ada di berbagai lembaga, bukan hanya Badan Intelijen Negara (BIN) namun juga TNI dan Polri.

Sejak dua tahun terakhir, para penggiat demokrasi mulai khawatir melihat berbagai kebijakan pemerintah. Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Perppu Ormas yang kini sudah menjadi UU, dan kembalinya TNI ke ranah sipil yang ditandai dengan pembentukan Koopssusgab, serta kini muncul wacana mirip NKK/BKK, sungguh mengingatkan kita pada rezim orde baru. 

Jangan sampai isu terorisme dijadikan komoditas politik untuk memberangus hak-hak warga negara. Mari kita lawan terorisme, tumpas hingga ke akar-akarnya karena perbuatannya sangat biadab. Namun kita pun wajib melawan delusi yang dibangun pihak-pihak tertentu dengan tujuan di luar pemberantasan terorisme.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun