Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tolak Ide Menristekdikti Sadap Ponsel Dosen dan Mahasiswa

5 Juni 2018   18:47 Diperbarui: 5 Juni 2018   21:49 3280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menristekdikti bersama para rektor usai menghadap Presiden Jokowi. Foto: KOMPAS.com/IHSANUDDIN

Benar penyadapan untuk kasus terorisme tanpa izin ketua pengadilan sudah diperbolehkan di dalam undang-undang antiterorisme hasil revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 yang baru disahkan DPR. 

Pada pasal 31A disebutkan "dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan lebih dulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme, dengan ketentuan selama-lama tiga hari penyidik harus sudah memberitahukan ketua pengadilan untuk mendapat persetujuan". Jangka waktu penyadapan bisa setahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk durasi waktu yang sama.

Tetapi harus dipahami, hanya mereka yang diduga terlibat dalam tindak kejahatan terorisme yang boleh disadap tanpa izin ketua pengadilan dan jangka waktunya pun dibatasi. Jika hal ini kemudian diberlakukan kepada seluruh civitas akademika, pertanyaannya apakah seluruh dosen dan mahasiswa di Indonesia sudah diduga terlibat jaringan terorisme? 

Tidak mungkin jika tujuannya hanya untuk database Kemenristekdikti karena data diri setiap mahasiswa, termasuk nomor teleponnya, tentu sudah ada di setiap kampus. Semakin tidak masuk akal jika tujuannya hanya itu tetapi semua dosen dan mahasiswa juga diwajibkan menyetor nama akun media sosialnya.

Kita wajib menolak ide Menristekdikti karena akan lebih "represif" dibanding pembentukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) semasa Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983). NKK/BKK sukses membungkam kekritisan mahasiswa kepada pemerintah usai meledaknya Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 yang menolak dominasi modal asing bersamaan dengan kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta.

Biarkan kampus menjadi kawah candradimuka yang mempertemukan ragam isu dan pemikiran. Jangan kekang kekritisan para mahasiswa. Jika memang ada yang menyimpang- terpapar radikalisme, tangkap dan proses sesuai hukum yang berlaku, tapi tidak dengan mengebiri kampusnya dan merugikan mahasiswa lain. 

Jika alasannya kesulitan dalam memantau, mari kita tanyakan fungsi intelijen yang ada di berbagai lembaga, bukan hanya Badan Intelijen Negara (BIN) namun juga TNI dan Polri.

Sejak dua tahun terakhir, para penggiat demokrasi mulai khawatir melihat berbagai kebijakan pemerintah. Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Perppu Ormas yang kini sudah menjadi UU, dan kembalinya TNI ke ranah sipil yang ditandai dengan pembentukan Koopssusgab, serta kini muncul wacana mirip NKK/BKK, sungguh mengingatkan kita pada rezim orde baru. 

Jangan sampai isu terorisme dijadikan komoditas politik untuk memberangus hak-hak warga negara. Mari kita lawan terorisme, tumpas hingga ke akar-akarnya karena perbuatannya sangat biadab. Namun kita pun wajib melawan delusi yang dibangun pihak-pihak tertentu dengan tujuan di luar pemberantasan terorisme.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun