Ulama se-Indonesia menyepakati bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah perjanjian kebangsaan yang sudah final sehingga wajib dibela dan dipertahankan. Untuk itu setiap warga bangsa wajib melakukan bela negara melawan pihak-pihak yang berupaya mengubah bentuknya. Poin ini lebih jelas dan tegas dibanding definisi terorisme dalam UU Antiterorisme yang telah disahkan DPR.
Dalam konteks yang lebih luas, kesepakatan para ulama dalam pertemuan di Pesantren Al Falah, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan bisa menjadi jawaban terhadap pihak-pihak yang meragukan komitmen umat Islam pada upaya menjaga keutuhan NKRI sebagai dampak merebaknya aksi terorisme yang berlindung di balik ajaran Islam.
Banyak pihak yang mencurigai penguatan politik Islam sebagai ancaman terhadap keutuhan bangsa. Isu khilafah yang hanya didengungkan satu-dua ormas pun dianggap sebagai representasi aspirasi seluruh umat Islam.
Untuk membuktikan komitmennya, ijtimak ulama "memfatwakan" setiap warga bangsa wajib melakukan bela negara. Selain itu, siapa pun yang berniat mengubah bentuk negara dan bangsa adalah pengkhianat. Mari kita lihat poin ke-6 ijtimak ulama:Â
Dalam rangka memperkuat negara dan bangsa serta menghindari terjadinya pengkhianatan terhadap perjanjian kebangsaan, perlu dilakukan upaya:
a. Negara wajib mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, terutama dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga tercipta rasa adil, aman, dan sejahtera secara merata.
b. Setiap warga negara wajib melakukan bela negara, sehingga dapat mengantisipasi segala bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun luar, pengkhianatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) serta upaya mengubah bentuk negara-bangsa.
Pada poin (b), ulama membedakan antara sparatisme dan terorisme. Ini penting karena tafsir terorisme di dalam UU hasil revisi terhadap UU nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, masih multitafsir, bahkan akan menghambat pemberantasan terorisme.
Sebab dalam UU tersebut, definisi yang sudah disepakati antara DPR dengan pemerintah berbunyi: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.
Dalam UU tersebut ada keharusan perbuatan yang dasari kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror atau rasa takut secara luas sebelum menyimpulkan apakah seseorang tersebut teroris atau bukan. Sedangkan pada ijtimak ulama, cukup menggunakan dasar adanya "upaya".Â
Dengan demikian jika dalam sebuh forum diskusi terdapat kesepakatan untuk mengubah bentuk negara dan bangsa, sudah termasuk terorisme mski belum melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan. Klausul ini yang sebenarnya diinginkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sehingga polisi bisa lebih efektif melakukan pencegahan tanpa menunggu terjadinya (aksi) kekerasan atau ancaman kekerasan.