Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Reformasi Jilid Kedua, Mungkinkah?

22 Mei 2018   07:37 Diperbarui: 22 Mei 2018   10:27 2871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gara-gara reformasi sentimen suku dan agama mengemuka, paham komunisme mengemuka, paham terorisme tumbuh subur, korupsi merajalela, rasa senasib seperjuangan luntur, rasa aman hilang karena kejahatan merajalela dan kian sadis.

Silakan ditambahkan lagi komentar-komentar pesimis menyesalkan terjadinya gerakan pemuda dan mahasiswa tahun 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto yang sudah bercokol selama 32 tahun. Reformasi mengalami titik balik sejak 2009 lalu---salah satunya ditandai dengan mulai munculnya tulisan "enak jamanku tho" dengan gambar Soeharto, dan kini tengah menuju puncaknya.

Tidak berlebihan jika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan reformasi jilid kedua bisa terjadi. Indikasinya situasi politik, sosial dan ekonomi hari ini, 20 tahun setelah reformasi, belum beranjak menjadi lebih baik. Dalam beberapa segi, justru mengalami kemunduran.

Mari kita lihat segi politik. Meski demokrasi yang dibangun bertumbal darah dan airmata sudah menampakkan hasil di mana kontestasi elektoral berskala daerah maupun nasional berjalan baik, pemimpin yang dihasilkan masih jauh dari harapan. 86 kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak lembaga antirasuah itu berdiri, adalah buktinya.

Belum lagi penguatan politik identitas berbasis suku dan agama yang terjadi di berbagai daerah. Isu putra daerah dan kesamaan agama yang dianut hampir selalu terdengar dalam kontestasi elektoral dari level provinsi hingga kabupaten/kota.

Dari segi ekonomi, mata uang rupiah nyaris tak ada harganya lagi. Hari ini nilai tular rupiah terhadap dollar menyentuh 14.200 atau terkoreksi Rp 2.100 lebih dibanding saat Jokowi dilantik menjadi Presiden ke-7, 20 Oktober 2014.

Sementara utang menggunung, bertambah Rp 1.500 triliun menjadi Rp 4.180 triliun per April 2018. Utang yang dibukukan Jokowi tercatat paling tinggi di antara semua Presiden terdahulu. 

Saat Soeharto lengser, posisi utang negara tercatat Rp 551,4 T, BJ Habibie (setahun dan dalam kondisi kritis ekonomi berat) menambah utang sekitar Rp 380 T, Abdurrahman Wahid  (2,5 tahun) Rp 200 T, Megawati Soekarnoputri (2,5 tahun) Rp 27 T, Susilo Bambang Yudhoyono (10 tahun) menambah utang negara sebesar Rp 1.400 T.

Bagaimana dengan relasi sosial antarwarga bangsa?

Beberapa peristiwa yang terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir, sempat berpotensi menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sentimen keagamaan merebak. Hujatan terhadap tokoh agama dan identitas keagamaan dengan mudah dimuntahkan di area publik, terutama media sosial dan kolom komentar portal berita daring.

Politik praktis ditarik ke wilayah privat dengan alas agama dan suku sehingga mengganggu relasi sosial yang sebelumnya sudah kokoh. Hubungan kekerabatan, pertemanan yang sudah dijalin bertahun-tahun, dengan mudah putus hanya gegara beda pilihan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun