Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendesak DPR segera mengesahkan Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memuat pasal "Guantanamo".  Pasal ini memungkinkan polisi menangkap orang-orang yang diduga tergabung dalam jaringan  teroris meski belum melakukan tindak terorisme.
Dalam keterangan pers seperti ditayangkan dalam breaking news Kompas TV, Minggu (13/5/18), usai terjadinya ledakan di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 13 orang dan melukai sedikitnya 41 orang, Jenderal Tito Karnavian menyebut revisi UU Antiterorisme sangat penting untuk memeberantas pelaku terorisme sebelum mereka beraksi.Â
Sebab saat ini, meski polisi mengetahui jaringan Jamaah Anshar Daulah (JAD) di bawah kepemimpinan Aman Abdurrahman yang terafiliasi dengan kelompok ISIS di Syria sebegaimana Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang sebelumnya dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, namun mereka tidak bisa langsung ditindak sebelum ada aksi.
Seperti diketahui, Aman Abdurrahman  saat ini ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, dalam kasus  bom Thamrin tahun 2016 dan sebelumnya juga terlibat dalam pelatihan bersenjata di Aceh. Pimpinan JAD kemudian diserahkan kepada Zainal Anshori yang juga sudah dibekuk Densus 88 Antiteror dalam kasus penyelundupan senjata ke Filipina.Â
Sementara Abu Bakar Ba'asyir juga tengah ditahan di Lapas Gunung Sindur namun akan dipindah ke lapas di Solo yang dekat rumahnya karena kondisinya yang sakit-sakitan. Ba'asyir. Sempat muncul kontroversi ketika ada sinyal pemerintah akan mengubah status Ba'asyir menjadi tahanan rumah. Tentangan bukan hanya dari dalam negeri namun juga luar negeri, terutama Australia dan Amerika Serikat.
Kapolri Jenderal Tito menambahkan, saat ini sedikitnya  ada 1100 warga Indonesia yang sudah terindikasi terpengaruh paham radikal ISIS dan masih ada 500-an lagi yang masih berada di Syria dan siap kembali karena posisinya terdesak oleh serangan Amerika dan Rusia. UU yang ada hanya memberikan waktu selama 7 hari untuk melakukan penahanan terhadap terduga anggota teroris dan setelah itu harus dilepas jika tidak ada bukti.Â
Sementara dalam draf pasal 43 A revisi UU Antiterorisme alias pasal Guantanamo- merujuk pada sel tahanan milik Amerika Serikat yang digunakan untuk menahan para pelaku teroris, aparat kepolisian diberi kewenangan untuk mempidanakan seseorang yang menjadi anggota jaringan teroris, bahkan "mengasingkannya" selama 2-6 bulan tanpa peradilan meski yang bersangkutan belum melakukan tindak terorisme. Tito beralasan, kewenangan ini untuk mencegah terjadinya aksi seperti bom Surabaya.
"UU Nomor 15 Tahun 2003 sangat responsif sekali. Kita bisa bertindak jika sudah ada aksi. Kita ingin lebih dari itu. Siapa pun yang bergabung dengan organisasi teroris bisa diproses pidana," ujar  Kapolri yang didampingi Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto.
Kapolri pun meminta agar revisi UU Antiterorisme harus segera diselesaikan. Â Jika perlu, kata Kapolri, dirinya memohon kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu karena saat ini korban terorisme terus berjatuhan.
Mengapa pembahasan revisi UU Antiterorisme begitu lama? Terlalu gegabah jika hanya menyalahkan DPR. Surat Panglima TNI yang meminta agar nama UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diubah menjadi UU Penanggulangan Aksi Terorisme, membuat pembahasan mundur kembali.Â
Dalam surat yang dikirim ke Pansus revisi UU Antioterisme, Panglima beralasan, perubahan  nama UU akan mewadahi kepentingan tugas dan peran TNI. Padahal peran TNI dalam pemberantasan terorisme sudah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.Â