Gugatan terhadap kepahlawanan Raden Ajeng Kartini bukan hal baru. Sejak Orde Baru, suara-suara yang mempertanyakan layak tidaknya putri Bupati Jepara itu mendapat gelar pahlawan sudah dibahas di berbagai ruang diskusi. Dasar argumen yang digunakan cukup wajar dan  menawarkan perspektif baru. Namun tidak demikian halnya dengan tudingan Kartini sebagai pemuas seks Belanda. Sangat keji dan menjijikkan.
Adalah akun dengan nama Ahmada Al Fatih yang memberi komentar di sebuah media sosial dengan kalimat sangat provokatif. Akun yang belakangan disebut PKS membajak foto kadernya di Aceh Timur bernama Sayed Mansur, menghina RA Kartini sebagai perempuan pemuas seks Belanda. Postingan itu menuai hujatan nitizen.
Saat ini PKS, menurut Wakil Sekjen Abdul Hakim, tengah mengumpulkan data dan berencana melaporkannya ke pihak berwajib karena merugikan PKS.
Terkait hubungannya dengan pembesar Belanda, Asep mengakui hal itu karena ayah Kartini pro kepada pemerintahan Hindia Belanda. Kartini pun dengan leluasa berkirim surat kepada teman-temannya di Eropa.
Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht atas inisiatif Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda. Balai Pustaka Jacques Henrij Abendanon. Pada tahun 1922, Balai Pustaka ikut menerbitkan dalam Bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah PIkiran.Â
Dari sini pula asal-muasal kritik penokohan Kartini sebenarnya bagian dari propaganda politik etis Belanda. Melalui sosok Kartini, Belanda berseru kepada dunia, negaranya tidak hanya menguras harta kekayaan dan memeras keringat pribumi Hindia Belanda, namun juga melakukan balas budi dengan memberikan pendidikan, kesetaraan dan kebebasan pikir kepada inlander.
Tidak mengherankan jika tulisan-tulisan Kartini, termasuk kiprah bahkan berita kematiannya, menempati kolom utama media-media Belanda seperti De Hollandsche Lelie.
Tidak hanya istimewa di mata Belanda, Kartini juga menempati posisi istimewa di zaman kemerdekaan. Di awal kemerdekaan para sejarawan Indonesia melakukan koreksi terhadap semua hal yang berbau Belanda dalam suatu proyek yang dinamai nasionalisasi historiografi. Tokoh-tokoh yang oleh Belanda dianggap perusuh, seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nya Dien, Christina Martha Tiahahu, Pangeran Antasari, Hasanudin, dll, diluruskan, bahkan diputarbalik. Sebab dari kacamata Indonesia, Pangeran Diponegoro dkk, adalah seorang pahlawan, bukan pemberontak.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Kartini. Entah karena tidak melakukan pembelaan fisik maupun dukungan verbal terhadap Belanda, Kartini tetap menempati posisi penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, utamanya pendidikan bagi kaum perempuan.
Atas jasanya itu, tahun 1964, Presiden Soekarno menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan tanggal lahirnya, 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini- yang dalam perjalanannya dimaknai sebagai hari kesetaraan perempaun dengan laki-laki dan pembebasan perempuan dari belenggu kebodohan.