Meski sudah menyatakan kesediannya menerima mandat kader dalam Rakornas lalu, masih banyak yang meragukan keseriusan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengikuti Pilpres 2019. Keraguan itu muncul antara lain karena sikap mantan Danjen Kopassus itu sendiri, ditambah gimmick yang dimainkan kubu lawan. Jika akhirnya Prabowo benar-benar tidak nyapres, siapa yang dirugikan?
Litbang Kompas baru saja merilis survei. Hasilnya, cukup mengejutkan di mana tingkat keterpilihan Prabowo Subianto merosot tajam di angka 14,1%, sementara pesaingnya, Presiden Jokowi melesat hingga 55,9%. Penurunan elektabiltas juga dialami sang kuda hitam, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang tinggal menyisakan 1,8% dari sebelumnya 3,3%.?
Penurunan tajam elektabilitas Prabowo tentu menjadi tanda tanya besar. Terlebih survei tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki reputasi cukup mentereng. Dalam beberapa gelaran elektoral sebelumnya, survei Libang Kompas terbukti memiliki presisi mendekati hasil real count sehingga sulit untuk diabaikan.
Lalu apa penyabab penurunan eletabilitas Prabowo dari 18,2% pada survei enam bulan lalu menjadi tinggal 14,1% pada survei yang digelar April 2018 tersebut? Mengapa pula elektabilitas Jokowi naik fantastis dari 46,3 menjadi 55,9%? Penurunan elektabilitas Prabowo semakin memprihatinkan jika  melihat hasil survei Indikator Politik Indonesia bulan September 2017, di mana elektabilitasnya mencapai 31,3%, sementara Jokowi 58,9% Â
Litbang Kompas memberikan jawabannya yakni kenaikkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi dari  70,8% menjadi 72,2 persen. Isu utang dan kenaikan BBM ternyata tidak memberi efek negatif. Keberhasilan Jokowi membangun sejumlah infrastruktur di kawasan timur Indonesia, perbaikan kawasan perbatasan, percepatan pembangunan jalan tol di Jawa dan Sumatera, hingga sertfikat gratis, lebih mempesona sehingga masyarakat mengabaikan hal-hal yang di era sebelumnya sering menjadi isu krusial tersebut.
Jokowi juga diuntungkan dengan sikap Prabowo yang terkesan masih ragu-ragu untuk nyapres. Bahkan setelah menyatakan kesediaannya menerima mandat kader dalam Rakornas Gerindra beberapa waktu lalu, sejumlah pihak, termasuk kader-kader PKS yang disebut akan menjadi mitra koalisi, masih meragukannya.
Terlebih gimmick Prabowo menjadi cawapres Jokowi, benar-benar berjalan dengan baik (sekedar tidak mengatakan sudah sesuai rencana kubu lawan). Beberapa kader Gerindra seperti Sandiaga Uno, ternyata termakan gimmick yang secara telak mendegradasikan sosok Prabowo tersebut. Jika yang dikatakan Ketua Umum PPP Romahurmuziy benar bahwa Prabowo sempat menanyakan keseriusan tawaran Jokowi untuk posisi cawapres, maka ini lelucon politik yang paling menyedihkan!
Kondisi serupa dialami Gatot Nurmantyo. Meski deklarasi relawan sudah marak, namun hingga saat ini belum ada partai yang menyatakan dukungan. Tanpa partai pengusung tentu saja Gatot tidak bisa nyapres karena dalam kontestasi Pilpres tidak dikenal calon independen atau perseorangan. Salah satu penyebab mengapa Gatot masih maju-mundur, bahkan sikapnya ini sempat membuat Presiden PKS Sohibul Imam meradang, karena hembusan angin sorga yang menyebut Jokowi akan menggandeng dirinya. Sebab, bagi Gatot tentu lebih "mudah" menjadi cawapres Jokowi dibanding maju sendiri baik sebagai capres maupun cawapres calon lain. Â
Jika melihat hasil survei Litbang Kompas, sulit bagi Prabowo maupun Gatot untuk bisa mendongkrak elektabilitasnya. Meski pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden baru dibuka 8-10 Agustus 2018 dan pencoblosan masih setahun lagi, namun jika tidak segera mengambil keputusan tegas, elektabilitasnya akan stagnan, bahkan mungkin tambah merosot. Tidak heran jika kubu Jokowi terus "mendorong" Prabowo nyapres karena hasil akhir sudah dapat diprediksi jauh sebelum pemilihan! Â
Ketegasan sikap Prabowo mutlak diperlukan. Jika pun belum bisa memutuskan cawapres-nya, minimal ada deklarasi partai koalisi, sebelum deklarasi pasangan calon, sehingga memberi keyakinan pendukung dan simpatisannya. Apalagi masih ada Partai Demokrat yang sewaktu-waktu bisa saja "membajak" PKS dan PAN utuk memunculkan calon alternatif. Â Â Â
Setelah deklarasi partai pengusung, Prabowo dan tim suksesnya bisa tancap gas menggarap isu-isu strategis. Sebab Jokowi bukan tanpa kelemahan. Persoalan ketersediaan lapangan kerja dan kenaikkan harga bahan kebutuhan pokok, bisa dijadikan bahan untuk menggerus elektabilitasnya. Survei Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap dua hal ini sangat rendah yakni hanya 38,8% untuk lapangan kerja dan 42,1% untuk harga kebutuhan pokok.