Tidak ada yang meragukan ketegaran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kritik tajam bahkan cercaan yang diterimanya baik saat masih bergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Susilo Bambang Yudhoyono maupun kini dalam Kabinet Kerja Joko Widodo, mampu diredam secara elegan. Namun hal itu tidak berlaku saat pengamat ekonomi senior Faisal Basri menyerang sisi paling sensitif: timbunan utang!
Salah satu kritik tajam Faisal Basri yang kemudian membuat Sri Mulyani baper adalah utang yang tidak sepenuhnya untuk infrastruktur. Ekonom Indef itu membantah keras pernyataan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang menyebut utang digunakan membangun infrastrukrur. Menurut pakar ekonomi yang juga aktif menulis di Kompasiana ini, serapan utang lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai dan barang. Salahnya adalah biaya perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN).
Rekan Faisal di Indef, Ahmad Heri Firdaus menyebut pertumbuhan utang tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi. Dari catatan Indef, total utang pemerintah di tahun 2015 sebesar Rp3.165,13 triliun (USD229,44 miliar), naik menjadi Rp 3.515,46 (USD261,64 miliar) di tahun 2016 dan di tahun 2017, jumlahnya menyentuh angka Rp 3.938,45 triliun (USD290,7 miliar). Sementara berdasarkan data BI, per November 2017 utang luar negeri Indonesia mencapi Rp 4.636,455 triliun atau 347,3 miliar dollar AS
Sementara, produk domestik bruto (PDB) dari Rp 11.526,33 triliun di tahun 2015, hanya meningkat menjadi Rp 12.406,77 triliun pada 2016, dan Rp13.588,80 triliun di tahun 2017.
"Utang tumbuh double digit, ekonomi single digit," kata Ahmad.
Menanggapi hal itu, Sri Mulyani menyebut kritik yang tidak melihat konteks besar dan arah kebijakan pemerintah sebagai bentuk penyesatan. Dalam surat yang dikirim ke media massa, Ani -- demikian panggilan akrabnya-- menyebut utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah (APBN) dan membangun infrastruktur, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Ani, jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Di tahun 2018, investor ritel pemegang SBN mencapai 501.713 di mana di antaranya investor individual ini ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar 3%), hingga diatas 55 tahun. Ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen.
"Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi," terang Ani.
Terkait kritik belanja pegawai lebih besar dibanding belanja infrastruktur (modal), mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut dalam sistem APBN Indonesia, belanja infrastruktur tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan.
"Oleh karena itu, pernyataan bahwa 'tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya' adalah kesimpulan yang salah," tegas Mbak Ani.
"Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis "soft infrastructure" yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita," lanjut perempuan kelahiran Tanjungkarang Bandar Lampung ini.