Bukan Amien Rais namanya jika tidak nyinyir kepada Presiden Joko Widodo. Selama ini sosok Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut berkelindan dengan kritik tajam terhadap berbagai kebijakan Jokowi. Terakhir, Amien Rais menuding program bagi-bagi sertifikat tanah kepada warga miskin yang digelorakan Jokowi, sebagai bentuk pengibulan alias pembohongan.
Tudingan tajam itu disampaikan Amien Rais saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Bandung Informal Meeting" di Bandung. Menurut mantan Ketua MPR ini, bagi-bagi sertifikat tanah hanya sebagai bentuk pengibulan dan pengalihan isu karena ada 74 persen lainnya yang dikuasai kelompok tertentu, dibiarkan oleh pemerintah.
Sejumlah pihak pun ramai-ramai "meminta" penjelasan Amien Rais terkait tudingan pengibulan dalam program sertifikat tanah. Â Juru Bicara Presiden, Johan Budi mempertanyakan maksud Amien Rais. Â Sebab menurutnya, program bagi-bagi sertifikat kepada rakyat kecil nyata, bukan ngibul. Kabag Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang Harison Mocodompit ikut menegaskan pembagian sertifikat tepat sasaran dan sesuai konsep.
Partai-partai pendukung Jokowi ikutan gerah. Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira  menyebut Amien Rais iri hati melihat keberhasilan Jokowi. Bahkan Ketua Fraksi Hanura di DPR, Inas Nasrullah Zubir menyebut kenyinyiran Amien Rais patut dicurigai membawa pesan dari konglomerat. Â
Benarkah demikian? Mari kita lihat kemungkinan lain di balik tudingan pengibulan program bagi-bagi sertifikat.
Kita meyakini, Amien Rais tahu jika pembagian sertifikat itu benar adanya. Selain disiarkan media, juga program semacam itu juga dengan mudah di-cross check ke lapangan. Berangkat dari pemahaman ini, maka sangat mungkin tudingan pengibulan yang dilontarkan Amien Rais lebih pada maksud dan tujuannya.
Seperti diketahui, pendistribusian lahan kepada masyarakat  yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat adalah amanat dari UU Pokok Agraria. Program Jokowi semakin menemukan momentumnya karena bukan rahasia selama ini masyarakat kesulitan ketika mengurus sertifikat tanah. Terlebih jika daerah tersebut sedang diincar pengusaha. Cerita warga yang harus berjuang melalui pengadilan dan menghabiskan biaya yang lebih besar dari nilai lahan demi mendapatkan selembar sertifikat, bukan cerita baru. Tidak mengherankan jika terobosan yang dilakukan Jokowi, dengan mempermudah pengurusan sertifikat lahan, mendapat sambutan luas dari masyarakat.
Pertanyaannya, berapa luas lahan yang diikutsertakan dalam program tersebut? Jangan-jangan hanya di daerah-daerah tertentu. Dari target 7 juta sertifikat lahan tahun 2018 dan akan terus berlanjut hingga tahun 2023 mendatang, apakah sudah cukup representatif dalam artian apakah sudah 100 persen atau hanya berapa persen dari total lahan warga yang harus disertifikat? Sebab  menurut  Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, per akhir 2016 lalu, masih ada sekitar 56 persen lahan yang belum bersertifikat.
Jika mendasarkan pada hal tersebut di atas, sepertinya Amien Rais mencurigai proyek sertifikasi lahan hanya pencitraan, hanya- menurut istilah Fadli Zon, seremoni. Dengan kata lain, jumlah yang disertifikat tidak sebanding dengan kebutuhan. Â
Kedua, terkait tudingan pengalihan perhatian. Amien Rais menyebut lahan yang dikuasai segelintir orang dari kelompok tertentu mencapai 74 persen. Sebuah angka yang luar biasa besar. Agar masyarakat tidak bergejolak, pemerintah menciptakan program yang seolah ada keadilan dalam hal kepemilikan lahan. Padahal perbandingannya njomplang.
Landasan program bagi-bagi sertifikat lahan sebenarnya juga berangkat dari  ketimpangan kepemilikan lahan. Presiden Jokowi termasuk yang gerah dengan adanya hal tersebut  karena berpotensi memincu konflik.
Ketiga, tujuan lain yang tak kalah "membahayakan" dan mungkin ini inti pengibulan yang dimaksud Amien Rais. Saat membuka  rapat membahas RUUPertanahan di istana Negara, tanggal 22 Maret 2017 lalu, Presiden menekankan salah satu hambatan penyelesaian proyek adalah sengketa lahan yang terjadi di tengah masyarakat karena lahan tersebut belum bersertifikat. Ada juga kasus di mana lahan tersebut tidak bisa dijual atau beralih kepemilikan karena belum disertifikat.
Artinya percepatan sertifkat lahan berarti juga mempercepat pemindahan kepemilikan lahan dari masyarakat kepada pengusaha. Hal ini sesuai dengan isu utama yang sempat mencuat kala Bank Dunia di tahun 1960-an menggelorakan pentingnya sertifikasi lahan di negara-negara berkembang untuk menunjang program industrialisasi. Lahan-lahan ulayat pun ikut disertifikat sehingga kemudian mudah dijual kepada pengusaha perkebunan atau pengembang perumahan. Tak pelak, sekelompok kecil kaum berduit kian luas menguasai lahan karena dengan sudah disertifikat, maka warga mudah saja menukarkannya dengan uang.
Sebagian warga menggunakannya uang yang didapat dari hasil menjual tanah  atau sekedar menggadaikan sertifikat untuk kegiatan produktif sehingga lahan tetap dikuasai namun kini dirinya memiliki usaha. Sementara sebagian besar lainnya, seperti realita yang kita lihat sekarang ini, uang digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Ketika akhirnya lahan melayang dan uang habis, mereka lantas menjadi gelandangan di negeri sendiri.
salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H