Tingkat polusi udara di kota-kota besar di Indonsia, terlebih Jakarta, sudah sangat mengkuatirkan. Dibutuhkan keberanian dan kemauan semua pihak untuk membersihkan langit Indonesia demi meningkatkan kualitas hidup dan menyiapkan generasi yang lebih sehat.
Penyumbang terbesar polusi udara adalah kendaraan bermotor. Pembakaran bahan bakar minyak (BBM) pada kendaraan bermotor menghasilkan gas berbahaya seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) yang berasal dari pembakaran BBM yang tidak sempurna sehingga menyebabkan mata pedih, sesak pada nafas, dan paru-paru, serta oksida nitrogen (NO) yang merupakan hasil reaksi nitrogen dengan sedikit oksigen pada knalpot.
Upaya untuk menekan gas berbahaya di udara yang dihasilkan kendaraan bermotor terus dilakukan oleh pemerintah melalui Pertamina sebagai perusahaan penghasil dan penyalur BBM milik negara. Sebagai tindaklanjut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dengan kandungan sulfur maksimal 50 ppm, Pertamina sudah berhasil membangun sejumlah kilang yang menghasilkan BBM ramah lingkungan dengan standar Euro4. Salah satu produksi yang sudah memenuhi standar Euro 4 adalah Pertamax Turbo. BBM low sulfur ini memiliki komponennya polygasoline ex unit 20 (Catalytic Condensation Unit) sebesar 42 persen, HOMC ex KLBB 33 perssen, serta RCC Naptha sebesar 25 persen.
Sekedar diketahui, Euro 4 adalah bagian dari komitmen Uni Eropa untuk menekan polusi udara melalui standarisasi BBM. Sejak 1990 Uni Eropa mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan bensin dengan Standar Euro secara bertahap dari mulai Euro 2 hingga 6. Standar Euro kini banyak diadopsi oleh negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Di beberapa negara maju, saat ini standar penerapan emisi sudah mencapai Euro 6. Sementara di Indonesia mayoritas pengguna kendaraan bermotor masih menggunakan bensin dengan standar Euro 2. Namun perlahan Pertamina mulai mengurangi pasokan BBM dengan standar Euro 2 dan menggantinya dengan Euro 4.
Penerapan standar Euro sendiri bukan tanpa perdebatan. Pihak yang pesimis melihatnya sebagai bagian dari politik Eropa untuk tidak melepaskan cengkeramannya di negara-negara lain melalui teknologi. Terhadap hal itu, VP Corporate Communication Pertamina, AdiatmaSardjito punya jawabannya, "Apakah kita akan terus hidup di bawah udara yang kotor? Pertamina memiliki kewajiban untuk mengajak masyarakat hidup di bawah udara yang bersih, dan salah satu solusi mencapai hal itu adalah kesadaran kita untuk menggunakan bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan."
Terlepas dari adanya kepentingan bisnis dan politik di balik standarisasi emisi, kita perlu melihatnya dari sisi kemanfaatan dan keuntungan lain yang jauh lebih besar. Udara yang bersih tentu berdampak pada kualitas kesehatan. Dengan demikian biaya kesehatan bisa ditekan sehingga bisa dialihkan untuk kegiatan lain yang bermanfaat seperti pemenuhan kebutuhan dasar dan pendidikan.
Namun demikian, kita tetap perlu mengingatkan Pertamina agar tidak selalu mengikuti standar yang dipakai negara lain karena mungkin saja ada agenda tersembunyi di balik hal semacam itu. Terlebih saat ini dunia tengah gencar mencari energi baru untuk mengganti bahan bakar yang berasal dari fosil. Jangan sampai, investasi untuk membangun kilang yang bernilai triliunan rupiah terbuang sia-sia manakala ditemukan energi baru pengganti BBM. Alangkah bijak manakala alokasi anggaran untuk mencari energi alternatif diberi porsi lebih besar, tanpa mengabaikan hal-hal yang berlaku saat ini. Â Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H