Terdakwa korupsi e-KTP Setya Novanto menunjukkan niat baik dengan mengajukan pemohonan menjadi justice collaborator (JC). Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menolak agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari. Selain keringanan hukuman, adakah motif lain yang diincar Novanto jika dirinya menjadi JC?
Penuntasan korupsi e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun memang harus menjadi prioritas KPK. Jangan sampai kasus ini berhenti hanya pada mantan Ketua DPR Setya Novanto karena hasil korupsi tersebut diyakini mengalir ke sejumlah mantan anggota DPR 2009-2014 yang kini menjadi pejabat publik dan juga orang-orang di lingkar dalam Istana di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.Â
Posisi Novanto dalam kasus ini cukup strategis karena selain penerima juga ikut mengarahkan aliran duit korupsi tersebut. Novanto tentu tahu persis, bahkan mungkin memiliki catatan siapa saja yang sudah menerima dan berapa jumlahnya.
Jika menjadi JC, keterangan Setya Novanto sangat mungkin bisa menjawab rasa penasaran publik terkait nama-nama tenar yang selama ini disebut-sebut ikut menikmati uang hasil korupsi e-KTP. Sebut saja Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, mantan Menkeu Agus DW Martowardojo (kini Gubernur BI) dan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI, Muhammad Jafar Hafsah hingga mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Selama ini mereka kompak menolak tuduhan tersebut. Namun ada juga yang mengaku menerima tetapi sudah dikembalikan seperti Ganjar dan Jafar Hafsah.
Namun Setya Novanto pun akan menerima imbalan sepadan atas "jasanya" tersebut. Jaksa KPK akan tersandera oleh jasa Novanto sehingga tidak mungkin memberikan tuntutan hukuman maksimal.
Sebelum sampai pada kesimpulan mengapa KPK wajib menolak, ada baiknya kita lihat 3 kemungkinan lain, di luar keringan hukuman, yang menjadi motif permohonan Setya Novanto menjadi JC.
Pertama, sangat mungkin Novanto memiliki agenda untuk melindungi keluarganya. Seperti diketahui, Istrinya, Deisti Astriani Tagor sudah diperiksa KPK setelah sebelumnya dicegah berpergian keluar negeri untuk periode 6 bulan ke depan terhitung mulai tanggal 21 November 2017.Â
Pencekalan tersebut terkait pengembangan korupsi e-KTP untuk tersangka Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo. Sementara Rheza Herwindo dan Dwina Michaella, dua anak Setya Novanto dari pernikahannya yang pertama, sedikitnya sudah dua kali diperiksa KPK.Â
Dwina tercatat sebagai komisaris PT Murakabi sedangkan Rheza merupakan petinggi PT Mondialindo. Kedua perusahaan tersebut merupakan peserta tender e-KTP.
Kedua, motif balas dendam terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak membantu ketika dirinya berusaha menghindar dari kejaran KPK. Beredarnya surat yang diduga ditulis Novanto dan ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dapat menjadi petunjuk bagaimana mantan Ketua Umum Golkar ini "menagih" imbalan atas dukungan yang diberikan Golkar kepada pemerintah. Jika dilihat dari perspektif ini, maka ada kemungkinan nama yang dikaitkan dengan korupsi e-KTP oleh Novanto setelah dirinya menjadi JC, tidak akurat karena tujuannya hanya untuk balas dendam.
Ketiga, menyelamatkan hartanya dengan membuat cerita baru. Dengan diangkatnya satu nama yang memiliki kedudukan lebih tinggi, konsentrasi KPK dan masyarakat mungkin saja akan tersedot ke sana sehingga penelusuran terhadap peran dan harta Novanto yang disembunyikan, tidak maksimal. Minimal, karena sudah ada tersangka baru yang memiliki "nilai jual" lebih besar, Novanto tidak lagi dijadikan target utama.