Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun 2018, Puncak Pertarungan Nasionalis Versus Agama

31 Desember 2017   13:26 Diperbarui: 31 Desember 2017   21:06 2841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber gambar : istimewa

Sejarah politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pertarungan dua ideologi besar yakni agama dan nasionalis. Upaya untuk memisahkan agama, dalam hal ini Islam, dengan politik tidak akan berhasil selama pendekatan yang dilakukan penguasa didasari kecurigaan.  

Kekuatan politik berbasis agama belum pernah memegang kekuasaan penuh di Republik Indonesia. Setelah Presiden Soekarno- yang menjadi simbol  kaum nasionalis berideologi Pancasila, jatuh dari tampuk kekuasaan, penguasa selanjutnya tidak memiliki basis ideologi yang jelas. Presiden Soeharto menggunakan kekuatan militer untuk menopang "ideologi" pembangunan dan paham sekular pragmatism untuk melawan ideologi agama. Ideologi Pancasila didengungkan untuk menutupi liberalisme di sektor ekonomi yang memuaskan kerabat dan kroninya. Soeharto tidak suka dengan gerakan kaum buruh- yang menjadi pilar pembangunan, karena diasosiasikan sebagai "nafas" gerakan komunisme, namun juga membatasi ruang gerak aktivis-aktivis politik yang menggunakan agama sebagai basis.

Naiknya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dan Amien Rais di MPR -- yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi negara, sempat menerbitkan harapan bagi para aktivis Islam akan terwujudnya tatanan negara yang didasarkan pada sendi-sendi Islam. Tetapi kekuasaannya yang terlalu singkat sehingga tidak mampu meletakkan mengubah sekuralisme di tubuh pemerintah. Bahkan diperbolehkannya anggota TNI/Polri perempuan berhijab terjadi bukan di masa mereka.

Saat Megawati Soekarnoputri "merebut" kekuasaan Gus Dur atas inisiatif Amien Rais, kelompok nasionalis ternyata juga tidak berdaya. Megawati tidak mampu menjadi lokomotif perubahan sesuai nafas kaum nasionalis. Dari segi ekonomi, Megawati justru lebih liberal dibanding Soeharto dengan melakukan privatisasi terhadap sejumlah BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti telekomunikasi dan migas. Memang benar kebijakan Megawati tidak terlepas dari kesepakatan dengan IMF yang ditandatangani Soeharto di akhir masa kekusaannya. Tetapi sebagai seorang pemimpin nasionalis, mestinya Megawati dapat menggunakan kewenangannya dengan meminta negoisasi ulang karena privatisasi badan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak melanggar Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.

Kekuasaan 10 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin jauh dari warna nasionalis maupun agama. Dengan mengusung slogan nasional demokrat, Partai Demokrat yang menjadi pilar pendukung kekuasaan SBY bergerak mengikuti "pasar" bukan ideologi yang mereka bangun. Pancasila hanya dijadikan baju sedangkan kebijakan-kebijakan dan pondasi ekonominya jauh dari kemandirian yang menjadi roh ideologi Pancasila.

Terpilihannya Joko Widodo sebagai Presiden ke-7 diawali dengan sikap pesimis baik dari kubu nasionalis maupun agama. Jokowi dianggap tidak memiliki modal politik yang kuat karena hanya "petugas partai". Sebagian menilai nasionalisme Jokowi kalah dibanding Prabowo Subianto. Sementara kubu agama pesimis Jokowi bisa mengatasi munculnya paham-paham yang menjadi musuh mereka, terutama komunis.

Tidak mengherankan jika di awal kekuasaannya Jokowi mendapat rongrongan dari kedua kubu. Terlebih ketika Jokowi menampakkan diri sebagai sosok liberal yang menjunjung tinggi kapitalisme di mana pasar dibuka sebebas-bebasnya tanpa ada lagi proteksi dari pemerintah disertai penghapusan subsidi di segala sektor. Jokowi sangat gandrung pada pelibatan swasta sebagai pengendali ekonomi dan menimbun hutang untuk membangun infrastruktur yang- salah satunya, bertujuan memanjakan para pemilik modal.

Sistem ini mestinya mampu menekan harga karena adanya persaingan yang ketat antar para pelaku usaha. Tetapi faktanya tidak demikian. Sistem monopoli dan koneksi terhadap pemangku kekuasaan masih kental sehingga persaingan tidak sebebas yang diharapkan. Harga jual hasil industri tetap tinggi sedangkan harga komoditi pertanian dan perikanan cenderung stagnan. Kenaikan harga komoditi pertanian dan perikanan karena adanya gejolak tertentu, akan langsung disapu karena dianggap dapat merusakan pasar. 

Kriminalisasi industri beras premium yang berani membeli harga gabah petani lebih tinggi dari harga patokan pemerintah, dapat dijadikan contohnya. Di sisi lain pemerintah terkesan membiarkan monopoli produk yang menjadi penopang sektor pertanian, peternakan dan dan perikanan. Mencuatnya kasus pakan ternak adalah contoh nyata bagaimana pemerintahan belum mampu sepenuhnya menghapus kartelisasi komoditi di sektor tertentu. Penguasaan sektor produksi dari hulu sampai hilir tidak lagi menjadi prioritas untuk dibenahi karena menjadi bagian dari kebijakan pemerintah untuk membuka ruang seluas-luasnya kepada sektor swasta.

Lalu mengapa di zaman Jokowi, setidaknya yang terbaca selama 2017 lalu, benturan kubu nasionalis dan agama begitu kuat, mengingatkan kita pada era 50- dan awal 60?---Bersambung di sini.

salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun