Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Wawali Bogor Ciderai Independensi KPK

29 Desember 2017   13:01 Diperbarui: 31 Desember 2017   04:13 1523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wali Kota Bogor Bima Arya. Foto: merdeka.com

Setelah anggota TNI/Polri, kini muncul pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berniat mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah. Selain tidak etis, siapa yang bisa memastikan tidak ada upaya-upaya politik yang sudah dilakukan saat dirinya masih menjabat di lembaga antirasuah tersebut?

Niat Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi KPK Deddie A Rachim mendampingi Bima Arya di Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor 2018, sudah mendapat restu Ketua KPK Agus Rahadjo. Menurutnya, keikutsertaan pejabat KPK pada kontestasi Pilkada  bisa membantu mewujudkan pemerintahan yang efektif dan bersih serta bebas KKN. Merasa mendapat support, saat ini Deddie tengah mengurus pengunduran diri dari KPK.

Langkah Deddie terjun ke dunia politik seolah melengkapi keterlibatan puluhan perwira TNI/Polri yang juga sudah mencanangkan niat mengikuti Pilkada. Bahkan beberapa di antaranya seperti Pangkostrad TNI Letjen Edy Rahmayadi dan Komandan Korps Brigade Mobil Inspektur Jenderal Murad Ismail sudah dideklarasikan oleh partai politik. JIka Edy mendapat dukungan PKS dan PAN untuk mengikuti Pilgub Sumatera Utara, maka Murad Ismail boleh berbangga karena sudah mengantongi dukungan dari PDIP yang langsung disampaikan sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Sebagai pejabat KPK, hak politik Deddie untuk memilih dan dipilih masih melekat sehingga tidak ada yang salah kala digunakan. Tetapi bagaimana dari sisi etika dan kepantasan? Saat ini KPK tengah menjadi tumpuan harapan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari tindak korupsi. Salah satu yang menjadi objek KPK adalah para penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Mayoritas para kepala daerah yang ditangani KPK baik dari hasil operasi tangkap tangan maupun pengembangan kasus, adalah kader-kader partai seperti Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Riau  Annas Maamun, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Sulawesi Tenggara Nur Alam, hingga Bupati Kutai Kartanegera Rita Widyasari dan Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno.

Kita sangat menyayangkan langkah Diddie mengikuti kontestasi Pilwakot Bogor dan restu yang diberikan Ketua KPK.  Sebab kita meyakini sebelum sampai pada keputusan- deal politik, sebagai pasangan calon, Deddie dan Bima Arya tentu sudah saling bertemu dan terlibat dalam pembicaraan politik yang intens. Memang tidak ada larangan bagi pejabat KPK untuk bertemu dengan siapa pun selama bukan pihak yang berperkara atau tengah diselidiki. Persoalannya, proses penyelidikan tentu tidak terbuka. Siapa yang bisa menjamin jika sebelumnya KPK tidak sedang melakukan penyelidikan di lingkungan Pemerintahan Kota Bogor? Siapa yang bisa memastikan pertemuan-pertemuan antara Deddie dan BIma Arya tidak menggunakan fasilitas negara? Siapa berani bersaksi jika penunjukkan Deddie tidak memberi dampak pada kader-kader PAN yang saat ini tengah mendekam di KPK mengingat BIma Artya kader PAN dan Wali Kota Siti Masitha yang diduga menerima uang terkait proyek di Tegal merupakan kakak Sekjen PAN Eddy Soeparno? Apakah jika Deddie bukan pejabat KPK, Bima Arya mau menggandeng sebagai calon wakilnya?  

Independensi yang menjadi penopang marwah KPK mestinya dijaga secara ketat di tengah sentimen para koruptor dan upaya sistematis sejumlah pihak untuk menghancurkan kredibilitasnya. Jangan jadikan KPK sebagai batu loncatan untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi. Seseorang yang masih menjadi bagian KPK, apalagi pejabat tinggi setingkat direktur, sangat tidak etis berbicara tentang peluang politik karena membuka kemungkinan pada deal-deal lain.

Untuk memastikan semua itu, alangkah baiknya jika KPK, juga TNI/Polri, membuat aturan internal untuk memastikan independensi dan netralitas dari kepentingan serta kekuatan politik pihak manapun. Hal yang paling mudah adalah menyodorkan perjanjian di awal sebelum menjadi bagian KPK untuk tidak menerima politik atau tawaran politik, sekurang-kurangnya 2 tahun setelah berhenti dari KPK. "Kasus"  Deddie sebagai pejabat KPK, juga anggota TNI/Polri, tidak bisa disamakan dengan pejabat di lembaga lain karena terkait fungsi dan kewenangan yang melekat pada dirinya.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun