Benarkah kasus penyanderaan di Papua hanya rekayasa polisi? Pertanyaan itu mengemuka setelah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN - OPM) membantah melakukan penyanderaan. Pernyataan penggiat HAM Veronica Koman ikut memperkuat dugaan itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ada banyak kejanggalan yang mengemuka seputar kasus penyanderaan yang menurut Kapolda Papua Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar terjadi di dua desa yakni Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, tepatnya dekat lokasi tambang milik PT Freeport Indonesia. Menurut Kapolda, sedikit ada 1.300 yang dilarang keluar dari dua desa tersebut. Hanya beberapa perempuan saja yang diperbolehkan keluar masuk kampung untuk membeli bahan makanan.Â
Beberapa hari kemudian Kapolda membuat maklumat Nomor: B/MKLMT/01/XI/2017 tanggal 12 November 2017 yang isinya meminta agar para penyandera menyerahkan diri. Maklumat tersebut disebarkan meliputi Kampung Utikini, Kampung Kembeli, Kampung Banti, Kampung Obitawak, Kampung Arwanop, dan Kampung Singa.
Namun TPN OPM membantah klaim Kapolda Boy Rafli. Staf Markas Komando Daerah Militer III Timika TPN OPM, Hendrik Wanmang menegaskan pihaknya tidak melakukan penyanderaan. Warga di dua desa tersebut tetap bebas beraktivitas. Namun dia membenarkan, pihaknya melarang polisi atau militer mengantar bantuan pangan ke wilayah tersebut. Pernyataan Henderik soal tidak adanya penyanderaan diperkuat penggiat HAM Veronica Koman yang menyebut ada manipulasi pemberitaan di media karena hanya berasal dari satu sumber yakni kepolisian. Veronica juga menyebut justru polisi yang menahan bantuan pangan untuk warga. Tentu saja pernyataan Veronica langsung dibantah pihak Kepolisian.
Adanya kejanggalan dalam kasus penyanderaan ini bisa dilihat dari ketidakpastian kapan sebenarnya warga mulai disandera. Menurut pemberitaan detik.com, penyanderaan sudah dilakukan sejak 3 hari dari pernyataan pertama Boy Rafli soal sandera tanggal 9 November 2017. Itu artinya penyanderaan sudah berlangsung sejak tanggal 6 November. Namun tempo.co dalam pemberitaannya menyebut penyanderaan terjadi sejak 9 November, padahal keduanya mengutip keterangan dari sumber yang sama yakni Kapolda Papua. Sangat mungkin ada kesalahan kutip dari wartawan media tersebut. Tetapi hal itu juga sangat mungkin akibat ketidaktransparan sumber berita karena ada yang ditutup-tutupi.
Kedua, reaksi yang para pejabat terkait terlihat tidak terlalu "antusias". Pernyataan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Panglima TNI jenderal TNI Gatot Nurmantyo hingga Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Moelyono sangat "datar" dan normatif. Sangat kontras dengan kasus-kasus sebelumnya, semisal penyanderaan WNI di Filipina, di mana mereka seperti berlomba menjadi yang terdepan dalam upaya pembebasannya. Hal itu sama sekali tidak terlihat dalam kasus sandera di Papua. Padahal jumlah sanderanya sangat besar.
Reaksi "adem-ayem" juga ditunjukkan Presiden Joko Widodo. Sampai hari ini belum ada pernyataan apapun. Hal ini cukup membingungkan karena meski berada di luar negeri Presiden tentu selalu mengikuti perkembangan di tanah air. Terlebih dalam kasus penyanderaan 10 WNI di Filipina, Maret 2016 lalu, Presiden Jokowi terlihat sangat intens melakukan upaya pembebasan termasuk menelpon Presiden Filipina (saat itu) Benigno Aquino III. Demikian juga dalam penyanderaan terhadap 4 WNI yang terjadi kemudian. Namun nyatanya, terkait sandera di Papua, Presiden memilih diam.
Apa yang sebenarnya terjadi di Papua? Berbagai spekulasi beredar dengan segala macam bumbunya. Ada yang menyebut kasus ini hanya upaya untuk membuktikan jika kepolisian membutuhkan peralatan "tempur" untuk menghadapi kelompok kriminal bersenjata (KKB). Seperti diketahui, impor senjata semi militer untuk Brimob sempat ramai karena dicekal TNI. Hingga kini amunisi Arsenal Stand Alone Grenade Launcher alias senjata pelontar granat masih ditahan oleh TNI. Dengan adanya penyanderaan ini, maka sesuai kesepakatan yang dibuat sebelumnya antara Polri dan TNI dengan mediasi Menko Polhukam Wiranto, TNI harus menyerahkan amunisi tersebut melalui mekanisme yang sudah diatur.
Ada juga yang menyebut peristiwa penyanderaan di Papua untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus besar di Jakarta. Persoalannya saat ini di Jakarta tidak ada kasus luar biasa. Jika penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP dijadikan alas argumen, rasanya terlalu maksa. Demikian juga kasus-kasus yang terkait terorisme dan UU Ormas. Intinya, tidak ada kasus besar yang sampai membutuhkan peristiwa lain sebagai pengalih.
Jika begitu, apakah peristiwa ini bentuk kepanikan aparat keamanan terkait eskalasi warga yang bersimpati pada perjuangan OPM? Ketatnya akses ke lokasi, khususnya bagi jurnalis seperti dikatakan Veronica, menjadi tanda tanya besar dan sangat mungkin memang terkait dengan upaya untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya.
Kita berharap aparat keamanan dan pejabat terkait transparan mengenai peristiwa ini. Di era keterbukaan seperti sekarang, percuma menutup-nutupi satu peristiwa karena akan dengan mudah terbongkar. Hanya soal waktu. Jangan sampai rakyat menjadi korban dari kepanikan salah satu pihak, baik TNI-Polri maupun OPM. Harga politiknya akan sangat mahal. Bahkan saat ini saja, seperti diberitakan kompas.com, sudah jatuh korban jiwa dari sandera. Kita masih menanti langkah Presiden Jokowi selaku Panglima Tertinggi TNI, untuk menuntaskan kasus ini secepatnya sebelum jatuh korban yang lebih besar.Â