Berlari menjadi olahraga favorit Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahudin Uno. Seminggu sekali Sandiaga  berlari dari rumahnya di Jalan Pulobangkeng Jakarta Selatan ke Balai Kota di Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta Pusat. Bagi Sandiaga lari bisa menjadi "alat", bukan tujuan utama.
Sandiaga mendapat manfaat dari lari. Selain tubuh segar, juga hal lainnya, seperti mengajarkan pola hidup sehat dengan berolahraga, mengurangi kemacetan hingga mengecek trotoar. Sandiaga tidak peduli pada kecepatan dan lainnya yang menjadi tolok-ukur prestasi di bidang lari. Tidak ada yang salah dengan hal itu dan memang sudah seharusnya karena Sandiaga bukan pelari profesional. Demikian juga bagi sebagian penulis di Kompasiana. Banyak yang menulis karena ingin menjaga kesegaran daya pikir dan ingatan, menghindari kepikunan, atau semata untuk menumpahkan pendapat, bahkan kegalauan. Menulis menjadi alat, bukan tujuan karena mereka memiliki profesi lain yang lebih mulia. Â
Aku berbeda dengan Sandiaga Uno dan juga sebagian teman-teman tersebut. Sebab menulis adalah profesiku. Bagiku, menulis bukan untuk menjaga agar tidak pikun, sebatas hobi apalagi pamer (riya). Menulis telah menjadi bagian dari diriku sehingga di situ ada gengsi dan keinginan (sebatas tidak mengatakan ambisi) menjadi yang terbaik. Karena tulisan harus ada "isinya", maka aku mengisinya dengan ulasan seputar politik- sesuatu yang aku pahami, aku kuasai. Setelah tulisan diposting, barulah aku memiliki tujuan. Pertama dibaca orang. Kedua, gagasan yang aku tawarkan diterima oleh pembaca ,dan ketiga, prediksi (politik) yang aku beber tidak meleset.
Menjadi penulis adalah tujuan hidupku. Aku tidak memiliki pekerjaan di luar kepenulisan karena memang aku tidak menguasai bidang lainnya. Di sini aku mempertaruhkan gengsi diri, sambil berharap meraih prestasi. Ya, aku tentu berharap bisa meraih prestasi terbaik, sebagaimana harapan semua orang pada bidang yang digelutinya.
Sejak beberapa tahun terakhir- tepatnya sejak media cetak tempatku bergantung satu persatu dilindas zaman, aku menjadikan Kompasiana sebagai media untuk mempublikasikan tulisan-tulisanku. Â Mengapa Kompasiana? Hal paling utama adalah kebesaran, baik nama maupun pengguna. karena aku sangat peduli dengan keterbacaan. Jika tulisanku dibaca banyak orang, apalagi menjadi viral, di situ aku merasa ada dan berguna.
Kontroversi? Pasti. Tidak ada opini politik yang dapat menyenangkan semua pihak. Politik terdiri dari beberapa kutub yang saling berseberangan. Ketika kita mencoba memaknai, apalagi menyertakan keberpihakan kita, tentu tidak akan menyenangkan pihak lainnya. Menulis politik jauh lebih beresiko dibanding menulis bidang lainya, baik secara hukum maupun pertemanan. Siapa yang suka dikritik? Tidak ada. Seperti dikatakan Yenny Wahid di acara Kompasianival, sangat manusiawi ketika kita menjadi baper karena dikritik. Di tempat yang sama Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto mengingatkan, jika tulisan kita merugikan orang lain, maka orang tersebut bisa melapor ke polisi. Itu artinmya, jika tidak pandai mengemasnya, tulisan dengan konten politik akan mengantar kita ke pintu penjara.
Lebih konyol  lagi bagi penulis politik yang tidak berpihak. Sebab dia akan dimusuhi oleh semua pihak yang berada dalam kutub-kutub politik tersebut. Apa jadinya jika hari ini Anda mengkritik kinerja Presiden Jokowi, lantas besok menyoal ambisi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Namun aku telah memilih jalan itu. Jalan yang tidak biasa, di tengah jargon yang menulikan akal sehat: jika tidak bersamaku, engkau adalah musuhku!
Kini aku balik bertanya, mengapa kita harus berpihak pada politisi? Mengapa kita menghabiskan energi untuk membela kepentingan politik orang lain sementara politik sesuatu yang cair dan sewaktu-waktu mudah berubah sesuai "wadahnya"? Karena persamaan agama? Suku? Atau karena mengidolakannya? Sebab hal-hal ini yang akhirnya memempatkan kewarasan kita.
Berpihaklah hanya pada kebenaran, meski kebenaran yang kita yakini belum tentu benar di mata orang lain. Tidak mengapa. Tapi Setidaknya, ketika kita menggunakan nurani dan logika, maka fanatisme terhadap agama, ego kesukuan dan kecintaan berlebih pada sosok yang diidolakan, bisa diminimalisir. Â
Demikian sekedar ungkapan terima kasih pada Kompasiana, pada teman-teman semua, yang telah memilih aku sebagai Best in Opinion di ajang Kompasianival 2017. Secara khusus aku harus berterima kasih kepada Kompasianer Syasya_Mam yang mengejutkanku karena secara terbuka menyampaikan dukungannya padaku di ajang pemilihan ini. Padahal saat itu aku sendiri tengah down. Juga teman-teman terbaikku Pak Ikhwanul Halim, Prof Pebrianov yang belum pernah bertemu tetapi serasa sudah bertetangga sejak seabad lalu, Listhia H Rahman yang sejak 4 bulan lalu dan menjadi orang pertama yang meyakinkanku untuk terus menulis di Kompasiana karena akan terpilih menjadi Best in Opinion 2017.
Salam hangat @yb