Prediksi kehancuran PDIP di tanah Jawa, membuat punggawa PDIP gentar. Menghadapi Pilkada 2018 Megawati Soekarnoputri mengubah gaya politiknya menjadi lebih lunak dan lembut. Bahkan beberapa keputusan diambil murni berdasarkan aspirasi dari bawah.
Kekalahan PDIP di daerah-daerah dengan mata pilih gemuk pada Pilkada 2017 lalu, terutama Banten dan DKI Jakarta, masih menyisakan luka. Gaya Megawati dengan hak prerogatifnya diyakini sebagai penyebab tumpulnya geliat politisi PDIP. Mereka tidak lagi berani melakukan komunikasi politik dengan tokoh-tokoh di daerah karena semua paham keputusan ada di pusat dan Ketua Umum PDIP dapat menunjuk calon kepala daerah di luar proses penjaringan yang dilakukan kader-kader di bawah. Bukan hal yang luar biasa manakala penjaringan bakal calon kepala daerah yang digelar PDIP sepi peminat. Untuk apa mendaftar, mengikuti proses seleksi jika akhirnya sama sekali tidak dijadikan bahan pertimbangan oleh DPP dalam memutus calon yang akan diusung.
Kegagalan proses penjaringan bakal calon kepala daerah di Jawa Barat, yang hanya diminati oleh 4 pendaftar di mana 3 di antaranya kader sendiri, sangat memalukan karena PDIP menjadi satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon tanpa koalisi. PDIP sama sekali tidak dilirik oleh tokoh-tokoh yang memiliki elektabilitas cukup tinggi. Bahkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang tengah gundah karena belum memiliki perahu untuk maju dalam kontestasi Pilgub Jabar 2018, tidak meliriknya. Ini tentu tamparan keras bagi PDIP, sebentuk pelecehan terhadap eksistensi dan kredibilitasnya, terutama bagi kader-kader di bawah.
Tidak mengherankan jika kader PDIP di Jawa Timur tidak berani melakukan penjaringan. Di Jabar yang punya kendaraan tanpa koalisi saja dicueki, apalagi di Jatim yang masih membutuhkan koalisi dengan partai lain karena hanya memiliki 19 dari 20 kursi yang dibutuhkan. Terlebih Jatim merupakan basis PKB, rumahnya warga Nahdliyin, meski di beberapa tempat, utamanya daerah perkoataan, juga terdapat kantonng-kantong kelompok nasionalis.
Awalnya Megawati sempat hendak bermanuver di Jatim. Nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun mengemuka. Kader PDIP ini diyakini memiliki elektabilitas cukup tinggi. Bahkan Risma lebih populer secara nasional dibanding Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf yang sudah mendapat perahu PKB untuk melayari Pilgub Jatim 2018. Megawati pun sudah memberikan sinyal dukungan. Jika PDIP akhirnya memberikan dukungan kepada Gus Ipul, hal itu bukan semata karena keteguhan Risma yang menolak dicalonkan.
Saat melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren di Jatim, utusan Megawati, Ahmad Basarah mendapat "kejutan". Bukan dukungan kepada kader PDIP, kyai-kyai khos Nahdlatul Ulama (NU) di daratan Jatim justru mengirim surat kepada Megawati yang isinya meminta agar PDIP ikut mencalonkan Gus Ipul. Dalam surat berbahasa Indonesia namun ditulis dengan huruf Arab tersebut, para kyai "membanter" dukungan PDIP kepada Gus Ipul dengan dukungan kepada Jokowi di Pilpres 2019.
Jika saja PDIP tidak menderita rentetan kekalahan di pilkada 2017 sebelumnya, sulit menjamin aspirasi para kyai khos tersebut akan diterima. Bahkan sangat mungkin dianggap intervensi sehingga akan dibalas dengan penunjukkan kepada calon yang sangat bertolak-belakang dengan aspirasi kyai-kyai tersebut. Penunjukkan Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub DKI adalah contohnya di mana saat itu kader-kader PDIP sudah bulat menyuarakan penolakan, tetapi Megawati justru memilihnya meski Ahok tidak pernah mengikuti proses penjaringan dan seleksi yang dilakukan pengurus DPD PDIP DKI. Hal itu membuat Ketua DPD PDIP Jakarta (saat itu) Boy Sadikin mundur.
Namun situasi saat ini tidak memungkinkan bagi PDIP untuk memaksakan kehendak. Megawati harus berhitung cermat. JIka menolak aspirasi para kyai namun ternyata jagoannya kalah, bukan hyanya PDIP akan semakin terpuruk dan benar-benar kehilangan dominasinya di tanah Jawa, sangat mungkin Jokowi pun akan kesulitan mendapat dukungan para kyai NU di Jatim. Dengan resiko yang sedemikian besar, tidak ada jalan lain bagi PDIP untuk menolak aspirasi kyai NU. PDIP semakin mantap mengusung Gus Ipul setelah melihatan kesiapan Khofifah Indar Parawansa. Politik nokang alias kanan-kiri oke, kembali dimainkan.
Megawati hanya mencoba mencari peruntungan dengan mengajukan Abdullah Azwar Anas- yang notabene juga kader PKB, untuk mendampingi Gus Ipul. Harapannya jika kelak Anas terpilih menjadi Wakil Gubernur maka otomatis kursi Bupati Banyuwangi jatuh ke Yusuf Widyatmoko, kader sejati PDIP. Perjudian politik yang manis.
Bagaimana dengan Pilkada Jabar? Sungguh mengejutkan ketika PDIP menawari Netty Heryawan untuk maju dalam Pilgub Jabar. Meski tawaran itu belum terbuka, dibungkus dengan undangan dialog yang melibatkan tokoh-tokoh Jabar termasuk Susi Pudjiastuti- Menteri Kelautan dan Perikanan, namun diyakini Netty akan mendapat prioritas untuk menggunakan perahu PDIP di Pilgub Jabar. Istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan itu memiliki elektabilitas cukup lumayan di antara beberapa kandidat lainnya seperti Ridwan Kamil, Bupati Purwakarta Deddi Mulyadi dan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar.
Benarkah demikian? Sebenarnya bukan elektabilitas Netty yang menarik bagi PDIP. Bagaimana pun Netty kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Akan menjadi pertaruhan politik yang sangat menarik ketika PDIP yang berhaluan nasionalis mengusung kader PKS yang berideologi Islam puritan. Sejarah politik tanah air, sejak Bung Karno hingga Jokowi, dua kelompok ini sulit menyatu. Apa yang dicari Megawati?