Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Alasan Mengapa Tidak Percaya Survei SMRC

5 Oktober 2017   20:24 Diperbarui: 6 Oktober 2017   11:15 3828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim SMRC memaparkan hasil survei terkait kinerja Presiden Joko Widodo. Foto: kompas.com

Survei merupakan salah satu metode untuk mengetahui kecenderungan masyarakat terhadap suatu objek. Jika politik, maka yang diukur adalah popularitas dan elektabilitasnya. Namun seringkali survei juga digunakan untuk tujuan lain. Apakah rilis survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru terkait hal lain tersebut?

Melalui survei digelar pada 3-10 September 2017 dan dirilis hari ini, SMRC menyebut PDIP sebagai partai dengan elektabilitas tertinggi. PDIP memperoleh 27,1%, jauh di atas Golkar di peringkat kedua yang hanya mendapat 11,4% atau Gerindra di tempat ketiga dengan hanya 10.2 persen. Sementara Partai Demokrat menduduki peringkat keempat dengan perolehan 6,9%. Di luar itu, partai-partai lainnya hanya mendapat angka di kisaran 5% ke bawah, termasuk PKS yang hanya memiliki elektabilitas sebesar 4,4%.

Sulit bagi kita untuk mempercayai hasil survei SMRC tersebut. Ada beberapa hal sebagai dasar mengapa kita ragu dengan hasil survei yang menempatkan PDIP di posisi pertama dengan selisih sedemikian jauh dibanding peringkat kedua dan seterusnya.

Pertama, PDIP baru saja mengalami kekalahan dalam kontestasi pilkada di daerah-daerah dengan mata pilih besar seperti Banten dan Jakarta. Kita sepakat, keterpilihan calon kepala daerah sangat ditentukan oleh ketokohan calon. Tetapi mesin partai tetap memiliki peran penting. Masih banyak pemilih partai loyal. Mereka tidak melihat figur, tetapi partai pengusung.

Sebagai contoh, warga PDIP di Jawa Tengah tidak peduli dengan ketokohan seseorang. Mereka akan mendukung siapa pun calon yang ditetapkan DPP PDIP. Hal ini sangat jelas terlihat pada saat PIlkada 2013 lalu. Meski Rutriningsih- yang sata itu masih kader PDIP dan tengah menjadi sebagai Wakil Gubernur Jateng, memiliki elektabilitas tinggi dan menjadi kebanggaan warga PDIP Jateng, tetapi ketika dia mendukung calon lain di luar PDIP, hasilnya sangat menyedihkan. Bahkan jagoannya kalah di kampung halaman Rutriningsih. Artinya, warga PDIP tidak melihat ketokohan Rutriningsih, maupun calon yang didukungnya, namun lebih mengedepankan loyalitas partai.

Bagaimana mungkin partai yang tengah terpuruk tiba-tiba muncul dengan elektabilitas begitu tinggi. Kegamangan PDIP untuk mengusung calon sendiri di Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur adalah bukti nyata jika internal PDIP pun menyadari elektabilitas partainya sedang redup. Ketiadaan peminat pada saat membuka penjaringan calon kepada daerah di Jabar, menjadi penegas akan hal itu. Padahal PDIP adalah partai pemenang dan satu-satunya yang bisa mengusung calon sendiri di Jabar, dan pemenang kedua di Jatim dengan 19 kursi, alias hanya kurang satu kursi untuk bisa mengusung calon sendiri.            

Kedua, anggapan Presiden Jokowi sebagai magnet electoral yang mendongkrak elektabilitas PDIP sehingga mendapat angka sedemikian tinggi sebagaimana dikatakan politikus PDIP Maruarar Sirait, terlalu memaksa. Fakta membuktikan, perolehan suara PDIP pada Pemilu 2014 hanya naik 4,91% dibanding pemilu sebelumnya. Padahal saat itu Jokowi tengah menjadi fenomena di tengah tingginya ekspektasi masyarakat dan kuatnya desakan kepada PDIP agar segera menetapkannya sebagai calon presiden. Nyatanya PDIP hanya mampu meraih suara sebesar 18,95%, jauh di bawah prediksi semua lembaga survei, apalagi target PDIP yang sebesar 27,02%. Fakta ini membuktikan Jokowi bukan vote getter bagi PDIP.

Ketiga, kiprah politisi PDIP dan juga kader partai pendukung pemerintah di DPR, dianggap tengah melakukan upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penolakan terhadap Pansus Angket KPK di DPR, memenuhi ruang-ruang publik. Sulit dipahami jika hal itu justru mendongkrak elektabilitas PDIP. Logika politik mengatakan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan dan ulah kader partai memiliki korelasinya dengan tingkat ketertarikan, keterpilihan. Keterpurukan PDIP di Pemilu 2004 setelah sebelumnya tampil sebagai jawara di Pemilu 1999, dan kehancuran Partai Demokrat di Pemilu 2014 setelah berjaya di Pemilu 2009, bisa menjadi tolok ukurnya.

Keempat, tidak ada torehan prestasi atau aksi fenomenal yang diperbuat PDIP sepanjang tahun ini. Hal semacam itu biasanya memberi sumbangsih pada elektabilitas. Mari kita buka catatan politik sepanjang 2017. Adakah kebijakan, kegiatan, statemen politik dari kubu PDIP (baik pengurus maupun kader) yang fenomenal dan memberi impact positif di tengah masyarakat? Beberapa kali kader PDIP justru membuat blunder yang menimbulkan antipati masyarakat seperti aksi Masinton Pasaribu di gedung KPK. Belum lagi kader-kadernya yang ditangkap KPK dengan dugaan korupsi seperti Bupati Klaten Sri Hartini. Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, dan lainnya. Sulit dipahami manakala masyarakat masih antusias memilih partai dengan banyak kader yang tersangkut korupsi.

Kelima, rilis survei dilakukan mendekati penetapan calon-calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi pilkada serentak 2018. Aroma pencitraan lebih kuat dibanding hal lainnya. Terlebih, berdasarkan penilaian subjektif penulis, SMRC memiliki "kedekatan" dengan PDIP. Mungkin keliru, mungkin juga kedekatan itu tidak mempengaruhi hasil survei. Tetapi tidaklah keliru jika mengatakan survei SMRC selalu menguntungkan PDIP.

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun