Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayo Dukung Klaim Kuda Lumping Milik Malaysia!

5 Oktober 2017   12:56 Diperbarui: 5 Oktober 2017   17:36 17907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu protes warga. Sumber: screenshoot Youtube.

Bukan hal baru ketika Malaysia secara sepihak mengklaim budaya Indonesia seperti Reog, Tari Pendet, Tari Piring hingga wayang, keris dan batik sebagai miliknya. Terakhir Malaysia mengklaim kuda lumping juga budaya warisan negeri Jiran tersebut. Sudah selayaknya kita bangga dan mendukung klaim Malaysia. Mengapa?

Klaim atas kuda lumping muncul setelah Miss Grand Malaysia Sanjeda John tampil mengenakan prajurit dan sepatu boots dari songket serta membawa kuda lumping yang terbuat dari anyaman bambu di ajang Miss Grand International 2017. Sanjeda menyebut kuda lumping yang dipegangnya sebagai Kuda Warisan. Menurut Sanjeda, sebagaimana diunggah di akun Instagram panitia Miss Grand International, Kuda Warisan berasal dari masyarakat Jawa yang bermigrasi ke Johor, Malaysia pada abad 20. Pada 1971, pemerintah Johor lalu mengakui kuda kepang sebagai simbol kesatuan dan keragaman budaya.

Sebagai negara serumpun, banyak warga Indonesia yang bermigrasi ke Malaysia. Bahkan sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, ketika sebagian wilayah Malaysia berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar Indonesia itu, sudah terjadi interaksi budaya. Namun bukan berarti terjadi perpindahan budaya karena nyatanya kebudayaan seperti tarian, wayang, kudang lumping, reog dan lain sebagainya tetap tumbuh dan berkembang di tanah aslinya.

Kita ambil contoh kuda lumping. Di Jawa, kesenian ini memiliki banyak ragam. Tiap-tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, termasuk sebutannya. Di daerah Banyumas disebut ebeg, sementara di daerah Jawa Tengah bagian Timur disebut jathilan. Namun perbedaan itu hanya terletak pada sebutan, kostum dan tarian pengiring. Esensi pertunjukan kuda lumping, lengkap dengan barongan, tetap sama.  Apa itu? Memanggil makhluk gaib agar merasuk dalam diri penari kuda lumping. Setelah trance, penari bisa memakan benda-benda yang tidak lazim seperti pecahan kaca (beling), arang yang masih membara, rumput, dedak hingga bisa mengupas kulit kelapa dengan menggunakan gigi.

Sampai dengan awal tahun 90-an, kesenian ini menjadi tontonan favorit rakyat, terutama di pedesaan. Hajatan, seperti sunatan, tidak lengkap jika tidak disertai pertunjukan (nanggap) kuda lumping. Bunyi kendang, bonang dan terompet yang mistis, mampu membuai dan menghibur penonton. Saat itu pertunjukan kesenian tradisional mendapatkan tempat sebagai katarsis- pelepasan, beban kehidupan.

Tetapi sejak pertengahan tahun 90-an ketika stasiun televisi swasta mulai mengudara dan menawarkan hiburan langsung di ruang keluarga, gengsi pertunjukan kesenian tradisional mengalami pergeseran. Masyarakat sudah mendapatkan tempat pelepasan kepenatan hidup dengan menonton sinetron yang mengharu-biru, yang membawa fantasi tentang kehidupan yang serba mewah tanpa perlu bekerja keras. Terjadilah perubahan akibat benturan budaya lama dengan budaya baru.

Memasuki era 2000-an, kesenian tradisonal semakin terpinggirkan. Bukan hanya ditinggalkan penontonnya, namun juga karena tidak ada regenerasi. Minimnya pendapatan, ditambah kuatnya perubahan gaya hidup yang lebih mengedepankan materialistis, menjadi alasan utama keengganan anak-anak muda menjadi pemain kesenian tradisioal. Bukan hanya kuda lumping, namun juga kesenian tradisonal lainnya. Hanya saja kuda lumping, tari-tarian dan wayang kulit maupun wayang orang mendapat beban tambahan karena munculnya anggapan jika kesenian tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai moral dan agama. Berteman dengan setan, mengumbar pornografi karena penari wanita pada kesenian Jawa dan Bali mengenakan pakaian terbuka, hanyalah sedikit dari begitu banyak "cercaan" yang diterima para penggiat kesenian tradisional. Meski belum sampai terjadi benturan fisik semisal dibubarkan secara paksa, tetapi sikap sinis sebagian masyarakat terhadap pertunjukan kesenian tradisonal tersebut, ikut meruntuhkan pamor dan gengsinya.

Kini, ketika Malaysia, sebagai negara Islam, justru mengadopsi dan menjadikan kesenian tradisonal yang dibawa para imigran asal Indonesia (Jawa) sebagai budayanya, mengapa kita marah? Bukankah selama ini kita sudah tidak peduli? Bukankah para pemuka agama begitu sinis dan gencarnya menghakimi kesenian-kesenian tersebut sebagai aktualisasi setan di muka bumi?

Ayo, jangan munafik! Jika memang sudah tidak membutuhkan, bahkan sudah mengecamnya sedemikian hebat, untuk apa pura-pura marah ketika diklaim oleh orang lain? Mari kita dukung Malaysia mengembangkan budaya leluhur kita- yang di tanah kelahirannya dicaci-maki sebagai budaya pagan, budaya iblis, agar tidak punah.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun