Dua isu paling menonjol sebelum terjadinya peristiwa berdarah pada 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia adalah Dewan Jenderal dan pembentukan angkatan kelima. Bukan kebetulan jika hari ini kita disuguhi dua isu tersebut dengan kemasan berbeda. Pernyataan Panglima TNI terkait pemesan 5.000 senjata api di luar istitusi militer tidak bisa dianggap sepele atau hanya masalah komunikasi antar institusi yang belum tuntas.
Mari kita melihat dua isu yang menjadi lanskap pergolakan tahun 1965. Isu pertama terkait keberadaan Dewan Jenderal yakni kelompok elit Angkatan Darat yang dimotori Men-Pangad Jenderal Ahmad Yani. Menurut PKI, Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (Coup d'Etat) jika kesehatan Presiden Soekarno terus menurun. Berkali-kali Yani membantah isu yang dihembuskan PKI tersebut karena yang ada hanyalah Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi.
Isu kedua adalah pembentukan angkatan kelima yakni buruh dan tani yang dipersenjatai. Ide ini berasal dari PM Tiongkok Chou Enlai dengan tujuan untuk mendukung perang melawan Malaysia. Chou Enlai bahkan menjanjikan hibah 100 ribu pucuk senjata. Ide Chou Enlai diamini PKI dan berhasil meyakinkan Presiden Soekarno akan pentingnya angkatan kelima. Namun Ahmad Yani dan TNI AD menolaknya. Keberadaan angkatan lain di luar TNI bisa membahayakan negara karena keberadaannya sejajar dengan angkatan yang sudah ada. Ahmad Yani dan juga Jenderal AH Nasution yang dikenal sangat anti PKI, tidak pernah melaksanakan perintah Soekarno untuk membentuk angkatan kelima.
Adanya kemiripan situasi saat ini dengan situasi menjelang meletusnya pertiwa 30 September 1965, akhirnya mendapat pembenaran dari peringatan yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Berbicara di depan puluhan jenderal purnawirawan, termasuk mantan Danjen Kopassus Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Jenderal Gatot membuka info sensitif tentang adanya pemesanan 5.000 pucuk senjata yang dilakukan institusi di luar militer, namun mendapat back up dari jenderal aktif. Publik langsung menafsirkan pemesannya adalah kepolisian. Terlebih dalam pidato yang sama Jenderal Gatot terang-terangan mengatakan kepolisian tidak boleh memiliki senjata yang bisa menembak pesawat atau kapal (perang).
Situasi semakin memanas setelah akun twitter resmi TNI Angkatan Udara membuat tweet yang mengesankan tidak percaya dengan pernyataan Panglima TNI. Publik bertanya-tanya apakah telah terjadi friksi antar angkatan sehingga TNI AU berani "meragukan" info Panglima TNI. Meski Kadispen TNI AU Marsma Jemi Trisonjaya menegaskan cuitan tersebut bukan sebagai bentuk ketidakpercayaan TNI AU terhadap ucapan Panglima TNI, melainkan ajakan kepada masyarakat untuk tidak begitu saja mempercayai sebuah informasi yang bukan berasal dari institusi resmi, atau disampaikan langsung oleh Mabes TNI, tetapi publik tidak langsung mempercayainya. Terlebih dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, TNI AU berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Menurut Pangkostrad (saat itu) Mayjen TNI Soeharto ketika menghadap Presiden Soekarno bersama seluruh kepala angkatan termasuk Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, TNI AU memfasilitasi PKI mengadakan latihan bersenjata di kawasan Halim. Sejarah mencatat, perintah harian Omar Dhani menyikapi pidato Letkol Untung di RRI setelah melakukan pembunuhan dan penculikan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat yang disebut Dewan Jenderal, yang kemudian dijadikan dasar tuduhan dirinya terlibat dalam pemberontakan PKI.
Tidak berlebihan jika publik kemudian mengaitkan tweet TNI AU dengan kebijakan Panglima TNI yang memerintahkan pemutaran film tersebut di markas-markas militer. Seperti diketahui Jenderal Gatot berasal dari kesatuan elit Angkatan Darat yakni Kostrad dan juga Kopassus.
Menko Polhukam Wiranto kemudian membenarkan institusi pemesan senjata yang dimaksud Panglima TNI adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Namun pemesanan senjata tersebut dilakukan sesuai prosedur, tidak illegal karena pemesanan senjata untuk pendidikan tidak memerlukan izin Mabes TNI, melainkan cukup izin Kapolri. Apalagi senjata itu dipesan dari Pindad, bukan luar negeri, dan menggunakan anggaran negara (APBN). Â Jumlahnya juga bukan 5.000 melainkan hanya 500 pucuk senjata. Menurut Wiranto ada komunikasi yang belum selesai antara Jenderal Gatot dengan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Jenderal Pol Budi Gunawan.
Benarkah situasi saat ini bagian dari skenario sejumlah pihak yang ingin menggulingkan Presiden Joko Widodo? Benarkah ada friksi antara angkatan di TNI dan juga Kepolisian? Publik akan terus bertanya-tanya dan mencaritahu kebenarannya dengan cara sendiri, jika pemerintah menutupi kondisi yang sebenarnya. Pernyataan Wiranto sulit dipahami jika elit politk, terlebih elit Angkatan Bersenjata, saling berbeda pernyataan. Klarifikasi yang disampaikan Wiranto justru menjadi pembuka keingintahuan publik yang lebih besar karena faktanya ada letupan-letupan emosional, gestur ketidakpercayaan, antar pembantu Presiden. Bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya kabinet kompak dalam hal pemutaran kembali film G30S/PKI jika satu menteri menolak, lainnya jutru ikut nonton bareng. Â Â
Kita berharap elit Istana satu suara, satu sikap, terhadap persoalan yang tengah dihadapi saat ini. Jangan memproduksi isu-isu sensitif di tengah banyaknya hoax yang memang dimaksudkan untuk memanaskan situasi. Tidaklah bijak jika Presiden tetap mendiamkan para pembantunya bertikai di ranah publik. Sekarang saat yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk mengambil sikap tegas terhadap para pembantunya, sebelum kondisi semakin panas dan tidak terkontrol.
Salam @yb    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H