Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukak Klambu dan Tafsir Keperawanan sebagai Komoditi

24 September 2017   12:41 Diperbarui: 25 September 2017   11:08 2970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (http://sastrabanget.com)

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat bagi Srintil melaksanakan malam bukak-klambu, tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana dua hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan.

Itulah suara hati Ahmad Tohari melalui Rasus- tokoh rekaannya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, terhadap lelang keperawanan sebagai prosesi wajib bagi calon Ronggeng di Dukuh Paruk. Masih banyak lagi caci-maki kasar sebagai ungkapan ketidaksetujuannya. Ahmad Tohari juga menegaskan prosesi bukak klambu- menggauli calon Ronggeng oleh laki-laki yang memenangkan lelang keperawan, bukan budaya, melainkan hanya akal-akalan tokoh-tokoh desa yang merasa ikut menjadi pemilik tubuh Srintil- tubuh Ronggeng yang menjadi manifestasi seluruh kehidupan desa.

Bagi yang pernah membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala yang merupakan trilogi terbitan Gramedia di awal 80-an, pasti geram mendengar klaim Aris Wahyudi, pemilik situs nikahsiri.com yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri. Menurut Aris, lelang keperawan merupakan budaya Indonesia dan konyolnya, pijakan Aris adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah difilmkan dengan judul Sang Penari (2011)!

Aris tidak sadar jika ungkapan konyolnya bisa mendegradasikan sosok Ahmad Tohari- budayawan, pemerhati masalah-masalah sosial, kolumnis yang sangat produktif di tahun 90-an hingga 2000-an. Aris tidak mengenal sosok Ahmad Tohari yang memiliki latar belakang sebagai santri dan menjalani kehidupan yang sederhana di daerah Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas. Aris pun pasti tidak tahu jika trilogi itu sudah melahirkan puluhan sarjana, bahkan doktor, bukan hanya di dalam negeri namun juga manca negara.

Benar bahwa karya sastra abadi karena memiliki tafsir beragam, bahkan mengikuti situasi dan kondisi saat novel itu dibaca, kemampuan dan daya nalar pembacanya, serta lingkungan sosialnya. Namun menjadikan satu bagian dari sebuah novel sebagai (alat) pembenar tindakan kriminalnya, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang sakit jiwanya.

Tindakan Aris mengaitkan ritual bukak klambu yang hanya wajib dilakukan oleh calon Ronggeng, bukan seluruh perawan desa, dengan bisnis lelang keperawan yang dikelolanya, tidak bisa hanya dipandang sebagai letupan sesaat, sebagai ikhtiar mencari jalan selamat. Apalagi latar-belakang novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah konflik paska pemberontakan PKI 1965. Sangat mungkin Aris sudah memikirkan "jalan" itu karena situasi politik saat ini sangat tidak menguntungkan untuk karya-karya sastra yang mempertanyakan sisi kemanusiaan paska tragedi 1965. Jangan sampai muncul kelompok pembela Aris yang dilatar-belakangi semangat untuk memberangus mereka yang mempertanyakan tindakan militer paska 1965.

Kita masih memaklumi jika Aris memberikan tafsir berbeda terhadap keseluruhan isi trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Namun, sekali lagi, kita tidak bisa mentolerir ketika Aris hanya mengambil cuplikan sebagai pembenar tindakan kriminalnya.

Aris lebih tepat jika mengatakan dirinya terinspirasi dari situs-situs jual keperawanan yang marak di luar negeri seperti Rumania, Brasil, dan negara-negara lain. Kita tidak mencampuri bisnisnya yang menjadikan keperawanan sebagai komiditi, meski kita juga geram karena dia telah memanipulasi agama dan mengeksploitasi kemiskinan. Polisi harus melakukan tes kejiwaan terhadap Aris, selain hukuman badan. Orang-orang semacam ini bukan hanya membahayakan satu-dua orang, namun satu generasi, satu bangsa.

Kita juga menyayangkan sikap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise. Mereka sangat reaktif dan mengecam keras perilaku Aris yang dianggap merendahkan derajat kaum perempuan, namun seperti tutup mata terhadap praktek serupa yang marak di Puncak, Bogor Jawa Barat. Kita mendesak agar kecaman itu diimplementasikan menjadi kebijakan negara dan diikuti dengan tindakan nyata.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun