Namanya ketua umum partai, pergi ke tempat terbuka pasti selalu diikuti anak buahnya. Apalagi menggelar orasi menyangkut isu strategis. Tetapi rupanya hal itu tidak berlaku bagi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tidak ada kadernya yang ikut saat Prabowo orasi di panggung PKS. Ke mana Fadli Zon dan kader-kader Gerindra lainnya?
Tak pelak, Prabowo pun tak kuasa menahan cela kepada kadernya. Ekspresi Prabowo di tengah massa PKS yang tengah menggelar demo simpatik untuk warga Rohingya Myanmar di pelataran Monas, tepatnya di seberang Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, menyiratkan kebingungan. Prabowo tampak beberapa kali mengedarkan tatapannya seperti mencari seseorang, namun yang dicari tidak ada. Peristiwa ini lebih menarik dibanding serengan Prabowo yang menyebut pengiriman bantuan bahan makanan dan obat-obatan pemerintah RI untuk warga Rohingya sebagai bentuk pencitraan Presiden Jokowi.
Pertama, ada kemungkinan Prabowo salah mendapat informasi. Mungkin Prabowo mengira demo tersebut merupakan aksi gabungan kader kedua partai. Terlebih beberapa hari belakangan kader-kader Gerindra, terutama Wakil Ketua DPR Fadli Zon begitu bersemangat memberikan perhatian menyangkut nasib warga Rohingya. Bahkan Fadli Zon sampai menciptakan sebuah puisi yang disebutnya sebagai ungkapan solidaritas. Tidak salah jika Prabowo yakin kader-kader Gerindra seperti Fadli Zon akan meluangkan waktunya hadir di tengah aksi peduli Rohingya. Mungkinkah ketidakhadiran Fadli Zon sebagai bentuk simpati kepada Fahri Hamzah- koleganya di DPR, Â yang tidak lagi diakui sebagai kader PKS?
Kedua, Prabowo "dibajak" PKS. Terbuka kemungkinan ada yang menyampaikan kepada Prabowo jika aksi tersebut merupakan gabungan kedua kader partai sehingga Prabowo tergerak hadir. Bukan rahasia lagi petinggi kedua partai sangat dekat karena merasa masih terikat pada janji suci Koalisi Merah Putih. Petinggi PKS memanfaatkan kelemahan Prabowo yang- dalam beberapa hal, gampang luluh ketika dibujuk sekali pun oleh musuh.
Kemungkinan ketiga, dan ini yang rasional, Prabowo ingin menyentil kader-kadernya yang dianggap tidak cekatan menangkap momentum untuk menaikkan elektabilitas partai alias pencitraan. Bagaimana pun isu Rohingya bukan hanya soal Islam, tetapi tentang kemanusiaan yang terkoyak. Dunia, dari pemimpin spiritual lintas agama, hingga negarawan dan peraih Nobel Perdamaian, ramai-ramai mengecam kekejaman militer Myanmar dan diamnya Aung San Suu Kyi. Tidak mengherankan jika kemudian Prabowo menggunakan panggung PKS untuk mengecam kadernya sendiri dan menyuruhnya belajar pada kader-kader PKS.
Menariknya, panggung demo bertajuk 169 tersebut juga menjadi pembeda antara Prabowo dan Amien Rais dengan Presiden PKS Sihobul Iman. Jika Prabowo dan Amien menyebut bantuan untuk Rohingya hanya bentuk pencitraan Jokowi, tidak demikian halnya dengan Sohibul. Menurut dia, apa yang sudah dilakukan pemerintah saat ini harus dihargai. Sohibul juga tidak setuju dengan usulan pemutusan hubungan diplomatik yang dianggapnya sebagai opsi terakhir.
Sohibul hanya meminta pemerintah RI memperbesar perannya dalam membantu warga Rohingya. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memegang peranan kunci terhadap stabilitas kawasan dan memastikan tidak ada warga bangsa di Asia Tenggara yang kehilangan hak-haknya seperti kewarganegaraan.Â
Tidak cukup hanya dengan mengirim bantuan, Indonesia juga harus berperan aktif mengkonsolidasikan organisasi dunia seperti PBB untuk menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya. Lebih mengesankan lagi manakala Sohibul meminta agar konflik di Myanmar jangan dipindahkan ke Indonesia. Sohibul sepertinya tengah mengirim pesan kepada Jokowi jika PKS tidak termasuk kelompok yang ingin memanfaatkan isu Rohingya untuk menggoyang pemerintah. Â Â
Politik adalah bagaimana memanfaatkan momentum. Dan hari ini, Prabowo tertinggal dua langkah dibanding PKS. Jika orang-orang di sekitarnya tidak segera mengingatkan, bukan tidak mungkin Gerindra justru menjadi pembuka jalan kemenangan PKS pada pemilu mendatang. Setidaknya hal itu tercermin dari hasil pilkada 2017, dan mungkin juga pilkada 2018, di sejumlah daerah di mana kedua partai menjalin koalisi.
PKS tampak lebih dominan dalam menentukan calon pasangan yang diusung. Situasi ini sempat membuat kader Gerindra marah, sebagaimana terjadi di Jabar di mana Gerindra seolah dipaksa menerima pasangan Deddy Mizwar -- Ahmad Syaikhu yang  sama sekali tidak mewakili kepentingan Gerindra. Kesanggupan Deddy Mizwar menjadi kader Gerindra bukan jaminan terwakilinya kepentingan Gerindra karena sebelumnya Gerindra pernah merasakan pahitnya mengusung calon non kader.
Salam @yb