Pengumuman Kompasianer Terpopuler bulan Agustus terasa sangat istimewa. Salah satunya karena menjungkalkan anggapan adanya kategori favorit dan anak tiri. Keberhasilan Ikhwanul Halim merebut tahta Terpopuler adalah bukti tidak ada kategori yang "dimanjakan" pengelola Kompasiana.
Selamat untuk Pak Ikhawanul Halim. Tidak ada mahkota yang tertukar.
Sejak diadakan pemilihan Kompasianer Terpopuler setiap bulannya, 7 besarnya selalu didominasi penulis kategori politik, meski hanya sekali menempati urutan pertama. Hal ini seolah membenarkan anggapan yang sudah beranak-pinak jika kategori politik merupakan kategori favorit. Beberapa artikel yang jumlah keterbacaannya mencapai setengah juta adalah tulisan-tulisan politik. Sebagai penulis politik, aku pun tidak pernah terlempar dari 7 besar Kompasianer Terpopuler setiap bulannya dan memiliki artikel dengan views hampir setengah juta.
Tetapi kini dominasi tersebut akan segera berakhr menyusul kemenangan Ikhwanul Halim. Sastrawan populer ini bukan hanya berhasil merangsek ke jajaran 7 besar, tetapi juga mampu meraih tahta tertinggi. Ini fenomena unik, selain menggugurkan anggapan hanya kategori politik yang mendapat tempat di Kompasiana.
Memang pemegang tahta juara bulan-bulan sebelumnya juga bukan penulis politik. Tiga bulan sebelumnya kategori Terpopuler diraih Pringadi Abdi Surya di mana tulisannya soal borok Afi menjadi perbincangan luas. Sementara Kompasianer Terpopuler bulan Juni diraih Hilman Fajrian yang begitu tajam mengulas berakhirnya kedikjayaan Yahoo. Aku berhasil duduk diposisi itu baru pada bulan Juli setelah sebelumnya hanya menjadi penghuni abadi 7 Kompasianer Terpopuler.
Sayangnya, Kompasianer yang memenangkan gelar Terpopuler sebelumnya bukanlah penulis produktif di Kompasiana. Kemenangan yang diraihnya hanya berkat satu tulisan fenomenal. Saat memenangkan gelar juara di bulan Mei, Pringadi hanya menulis 17 artikel. Namun selain tulisan tentang Afi, rerata tulisan lainnya tidak memiliki hitscukup tinggi. Sementara Hilman Fajrian hanya menulis 3 artikel saat memenangkan gelar bergengsi di bulan Juni. Â Â
Hal itu yang berbeda dengan kemenangan yang diraih Ikhwanul Halim. Penulis yang satu ini lumayan produkti dan konsisten. Kemenangan yang diraihnya merupakan hasil akumulasi dari 31 artikel. Sementara aku yang berada di peringkat kedua untuk bulan Agustus menulis 12 artikel, termasuk Surat Terbuka untuk Pengelola Kompasiana. Jumlah ini hampir sama dengan saat aku menduduki peringkat pertama bulan Juli yakni 14 artikel. Jika 2 tulisanku tidak dihapus, maka tulisanku di bulan Agustus berjumlah 14. Namun (khusus untuk Pak Ikhwanul Halim) andai pun tidak dihapus tetap tidak berpengaruh terhadap urutan Kompasianer Terpopuler bulan Agustus. Sekali lagi, tidak ada rezeki yang tertukar.
Konsistensi Ikhwanul Halim di kategori Fiksiana dan produktifitasnya patut menjadi "ancaman" bagi penulis kategori lain, terutama politik. Aku meyakini di bulan-bulan berikutnya nama penulis asli Aceh tapi senangnya menghirup udara bumi Parahiyangan dan kebetulan menjadi Kompasianer pertama yang aku jumpai di kehidupan nyata ini akan terus berada di 7 besar Kompasianer Terpopuler.
Hal ini juga sekaligus membuktikan jika Kompasiana bukan hanya soal politik. Ada tulisan lain di luar isu-isu politik yang layak Anda nikmati, meski tulisan "kompetisi" kini lebih mendominasi dan "mengganggu" karena ditampilkan tanpa jeda.
salam @yb
Note: tulisan ini tergugah komentar Pak Ikhwanul Halim di laman Facebook-nya, dan sudah atas seizinnya.Â