Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Membalas Provokasi SBY dengan Gudeg Gibran

11 Agustus 2017   13:55 Diperbarui: 12 Agustus 2017   14:48 10554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran dan AHY melakukan salam komando saat bertemu di Istana. Foto: ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Perseteruan Presiden Joko Widodo dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melahirkan banyak fragmen. Jika disikapi dengan bijak, potongan-potongan drama di antara keduanya bisa menjadi pendidikan politik agar bangsa ini lebih dewasa dalam menerima dan memahami perbedaan. Lantas bagaimana kita memahami gudeg dan kehadiran Gibran Rakabuming Raka saat Jokowi menerima putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Negara? 

Banyak yang menilai keinginan SBY untuk mengorbitkan AHY ke pentas nasional dengan cara memupus karir militernya, sebagai kekeliruan. Apalagi SBY tidak pernah secara terbuka menjelaskan alasannya. Publik pun mencari tahu sendiri dan mereka-reka sesuai nalar dan kepentingannya. Kubu di luar Istana menilainya sebagai langkah brilian karena jika pun tetap berada di kesatuan militer di tengah situasi politik saat ini, di mana SBY diposisikan (atau memposisikan?) sebagai musuh Istana, rasanya sulit bagi AHY untuk mendapat penugasan-penugasan strategis yang bisa mendongkrak karir militernya. Bahkan ada yang menganalisa pangkat tertinggi yang bisa diraih AHY di kemiliteran hanyalah bintang satu.

Sebaliknya pendukung kubu Istana menilai langkah SBY menghentikan karir militer AHY sebagai blunder politik. Publik tidak menduga SBY justru megorbitkan putra sulungnya di pentas politik, bukan Edhie Baskoro Yudhoyono, adik AHY, yang sudah terlebih dulu berkecimpung di mimbar politik. Publik kian mencibir SBY pasca kekalahan AHY pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Lebih dari itu, sosok AHY pun terbawa citra SBY sehingga menjadi "target" lawan-lawan politik ayahnya.

Di saat publik di luar kubu Cikeas masih euphoria atas kekalahan AHY, SBY melakukan sejumlah manuver yang tidak terpikirkan oleh publik. Di awali kunjungan dirinya ke Istana untuk mengklarifikasi segala macam tuduhan yang teruar selama kontestasi Pilkada DKI, SBY kemudian mendorong AHY merapat ke Istana. Setidaknya sudah dua kali AHY menemui Presiden Jokowi yakni saat Istana menggelar open house Idul Fitri 2017 dan terahir dilakukan kemarin untuk melaporkan sekaligus mengundang Jokowi menghadiri launching The Yudhoyono Institue (TYI). Sesudah pertemuan hingga acara launching, AHY terus memuji-muji Jokowi. Bahkan tidak segan-segan menyebut Jokowi merestui dirinya memimpin TYI.

Apakah ini pertanda SBY sudah "tunduk" pada Jokowi? Terlalu naif menyimpulkannya demikian. Justru sebaliknya, langkah SBY mengirim AHY ke Istana memiliki dua pesan menarik yakni membebaskan AHY dari bidikan lawan politik ayahnya, sekaligus "provokasi" untuk merusak kubu Jokowi. Pengiriman AHY ke Istana juga bisa dimaknai sebagai cara SBY mengawasi pemerintah agar Jokowi tidak menjadi diktator!

Sayangnya langkah SBY terbaca oleh Jokowi. Dengan cerdik Jokowi menyuruh Gibran mendampingi dirinya menyambut kedatangan AHY. Jokowi tidak mengajak AHY ke beranda sebagaimana kebiasaan Jokowi menerima tamu yang selevel. AHY pun harus puas hanya dilayani oleh Gibran. Sikap Jokowi ini merupakan pesan kepada SBY jika AHY masih selevel Gibran, bukan dirinya. Itu juga alasan mengapa Jokowi tidak menghadiri peluncuran TYI.

Mengapa gudeg menjadi pilihan untuk menjamu AHY? Gudeg adalah makanan khas masyarakat Jawa, khususnya di daerah tengah dan timur. Nikmat, gurih, dengan rasa manis yang khas, gudeg menjadi sayur utama dalam jamuan-jamuan acara tradisional masyarakat Jawa. Meski melegenda dan khas, namun secara umum gudeg belum familiar di lidah masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan AHY, setidaknya yang tersirat dari simbolisasi makanan yang disuguhkan Jokowi. Keterkenalan dan elektabilitas AHY masih sebatas di Jawa.

Ke depan, persaingan antara SBY dengan Jokowi akan semakin ketat. Genderang perang yang ditabuh SBY setelah enam bulan puasa bicara politik, terutama menyangkut tudingan abuse of power, sudah cukup menyentak dan memerahkan telinga Presiden. Jokowi sampai mengulang berkali-kali pernyataan dirinya bukan diktator. Tentu SBY masih menyimpan "peluru" lain sehingga Jokowi harus selalu mewaspadai setiap gerakkan yang terletup dari Cikeas jika tidak ingin telinganya "terbakar".

Salam @yb 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun