Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Polisi Yes, Militer No

3 Juni 2017   18:57 Diperbarui: 3 Juni 2017   22:53 3700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana  terorisme, yang saat ini masih dibahas di DPR, bisa menjadi pintu masuk bagi TNI untuk kembali ke wilayah sipil. Terlebih Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) di mana  tugas utamanya adalah melakukan pembinaan ideologi Pancasila. Bukan tidak mungkin kelak TNI akan menjadi alat untuk “memasyarakatkan Pancasila” melalui litsus, screening dan penataran P4 sebagaimana pernah dilakukan rezim Orde Baru.

Upaya sejumlah pihak untuk “memanfaatkan” TNI tidak juga surut. TNI terus ditarik-tarik agar masuk ke otoritas sipil. Efek buruk dwi fungsi ABRI di era Orde Baru seolah terlupakan. Setelah memaksa prajurit menjadi “petani” yang mencetak ribuan hektar sawah, kini  TNI akan mendapat legitimasi untuk memberantas terorisme. Jika kelak disahkan, maka sesuai pasal 43b dalam UU Anti-terorisme, TNI tidak lagi sebatas memback-up kepolisian tetapi dalam posisi sejajar alias bisa bergerak sendiri, melakukan operasi atas nama pencegahan penyebaran paham terorisme. Bentuknya bisa berupa penindakan bersenjata, penangkapan dan introgasi terhadap terduga teroris sebagaimana dilakukan kepolisian.

Mengapa kita harus menolak pelibatan pemberantasan terorisme oleh TNI? Teoris adalah kejahatan terhadap keamanan warga sipil di dalam negeri sehingga menjadi tanggung jawab kepolisian. Hanya kepolisian dan pihak lain yang berada di bawah koordinasinya, yang boleh menangkap, menahan dan mengintrogasi terduga pelaku teror. Bahwa dalam operasinya para teroris menggunakan bom dan senjata api, tidak sertamerta dapat digunakan untuk melegalkan tentara yang memiliki peran sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara sesuai UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua, dalam UU Antiterorisme sebelumnya, kehadiran TNI, seperti dalam Operasi  Tinombala di Poso, berada di bawah kendali operasi (BKO) kepolisian. Artinya komando tetap di kepolisian. Sulit dibayangkan manakala kendali operasi tersebut berada di tangan dua jenderal yang memiliki kewenangan sama. Siapa yang berani menjamin tidak akan terjadi “bentrok” manakala dua kesatuan memiliki otoritas yang sama terhadap satu kasus? Sedangkan dalam hal pemberantasan korupsi saja, karena merasa memiliki kewenangan yang sama, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, beberapa kali terlibat adu sprint atas satu kasus.

Ketiga, mIliter didik untuk membunuh lawan, sementara kepolisian memiliki tugas utama penegakan hukum. Dua hal ini sangat berbeda karena di bawah hukum perang militer bisa langsung menembak mati musuhnya, sementara polisi harus mengedepankan proses hukum. Polisi dibenarkan melepaskan tembakan untuk “membunuh” pelaku kriminal hanya jika ada perlawanan dan membahayakan keselamatan jiwanya atau jiwa orang lain setelah sebelumnya didahului dengan tembakan peringatan.

Keempat, jika pemerintah menilai kepolisian tidak mampu menangani aksi teror dan ingin menggunakan kekuatan TNI, sebaiknya umumkan negara dalam kondisi darurat militer seperti yang dilakukan pemerintah Filipina di Mindanao. Dengan demikian pelibatan militer memiliki batas waktu yang jelas yakni selama dalam kondisi darurat keamanan. Jika tidak demikian, melalui UU Antiterorisme yang baru, TNI akan terus berada di wilayah sipil. 

Lalu siapa yang menjamin TNI tidak diperalat untuk kepentingan politik? Siapa yang menjamin kelak militer tidak memasuki rumah warga sipil, menangkap dan mengintrogasinya hanya karena keluarga itu tidak mengibarkan bendera Merah Putih saat 17-an? Siapa yang berani memberikan garansi kelak anak-anak kita tidak dipaksa mengikuti screening tentang Pancasila sebelum diterima bekerja di pabrik tahu?  

Memang ada sebagian dari kita, termasuk beberapa jenderal tua, yang merindukan kehidupan berbangsa dan bernegara yang  aman dan damai ala orde baru. Mereka gerah dengan penguatan isu-isu sektarian, kesukuan dan ras yang terjadi belakangan ini. Tetapi berpikir pintas dengan menarik TNI ke otoritas sipil, bukan tindakan bijak. Militer harus tetap mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi dan supremasi sipil sebagaimana dimaksud pada pasal 2 UU No. 34 Tahun 2004.

Biarkan kepolisian bekerja semaksimal mungkin untuk memberantas terorisme di Indonesia. Libatkan TNI hanya untuk operasi tertentu yang memang membutuhkan dukungan militer. Dalam situasi damai, tentara harus tetap di barak; bukan di wilayah sipil, bukan di area politik, dan juga bukan di tengah sawah.

---

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun