Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY; (Tidak) Selalu Ada Pilihan

22 Maret 2017   08:00 Diperbarui: 22 Maret 2017   18:00 3293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat buku memoar politik berjudul “Selalu Ada Pilihan” karya DR Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam buku yang diterbitkan saat masih memangku jabatan Presiden RI ke-6 tersebut, SBY banyak memberikan nasehat kepada para calon presiden penggantinya. Ironisnya, ternyata bagi panggung politik selama dua tahun terakhir tidak banyak memberi pilihan pada SBY.

Setelah lengser dari kursi kepresidenan, SBY tidak langsung mandeg pandhito layaknya negarawan. Hal ini bisa dipahami karena dirinya masih bermain di wilayah politik praksis dengan mengemban tugas sebagai ketua umum Partai Demokrat. Galibnya politisi, SBY pun memanfaatkan sejumlah momentum untuk menaikkan citra diri dan partainya. Kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo tidak luput dari kritik dibarengi dengan contoh keberhasilan dirinya. Jor-joran pembangunan yang dilakukan Jokowi sehingga ekonomi “panas” dan berdampak pada pemotongan anggaran yang tengah berjalan di kementerian, termasuk penundaan pencairan Dana Alokasi Umum ke daerah, serta cara mengatasi demonstrasi kelompok masyarakat, adalah contoh-contoh bagaimana SBY mencoba membagikan pengalamannya dengan harapan akan mendapat feedback positif bagi dirinya.

Sayangnya, SBY “bertemu” Jokowi yang- menurut Ketua DPR Setya Novanto, koppig. Tidak mau terbawa permainan SBY, Jokowi malah balik menyerang. Jokowi tidak segan-segan menjadikan proyek mangkrak pendahulunya tersebut- seperti wisma atlet Bukit Hambalang, sebagai background kunjungan kerja manakala SBY “berulah”.

Pilkada DKI Jakarta menjadi medan perang politik sesungguhnya bagi SBY-Jokowi. SBY berkepentingan mengorbitkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY),  sedangkan Jokowi tidak ingin Jakarta dipimpin oleh “orang luar istana”.  Berbagai macam fragmen yang tercipta sepertinya dianggap sudah selesai pasca kekalahan AHY pada putaran pertama. Apalagi kemudian disusul dengan pertemuan keduanya di Istana Negara.

Anggapan itu ternyata keliru. Sejak kemarin publik dibuat tercengang ketika nama SBY dikaitkan dengan peristiwa mogoknya  mobil kepresidenan yang tengah ditumpangi Jokowi dalam rangka kunjungan kerja ke Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Diketahui, SBY masih memakai mobil kepresidenan jenis Mercedes-Benz S600 Guard. Merasa ditagih, SBY mengatakan sudah lama berencana mengembalikan mobil tersebut, Namun karena rusak, hal belum jadi dilaksanakan.

“Tidak mungkin saya kembalikan mobil tersebut dalam keadaan rusak," kata SBY.

Pertanyaannya, di mana salah SBY terkait mobil yang dipinjamnya tersebut? Manuver apalagi yang tengah disiapkan SBY sehingga “istana” merasa perlu membuka soal mobil dinas kepresidenan yang dipinjamnya?

Terkait peminjaman mbil negara, SBY tidak bersalah. Sebagai mantan Presiden, SBY berhak mendapat pinjaman mobil dari negara bersama dengan sopirnya sebagai termaktub dalam Pasal 8 huruf (b) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Bahkan SBY “berhak” membeli mobil tersebut tanpa lelang (dum) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penjualan Barang Milik Negara/Daerah Berupa Kendaraan Perorangan Dinas.  Mobil milik negara yang digunakan SBY sudah berusia di atas 10 tahun sehingga boleh di-dum.

Lalu di mana salah SBY? Mestinya SBY mengembalikan terlebih dahulu mobil dinasnya, sebelum kemudian negara memberikan pinjaman. Jika mobil tersebut dibawa pulang sejak dirinya lengser, klausul pinjaman tidak terpenuhi karena belum ada pihak yang meminjamkan.

Kedua, pasal hak pinjam kendaraan negara bagi mantan Presiden atau Wakil Presiden tidak menyebutkan jenis kendaraan. Otoritas untuk menentukan jenis mobil ada di Istana (Setneg). Tentu mobil yang dipinjamkan kepada mantan Presiden tidak harus sama, apalagi lebih mewah, dari mobil dinas Presiden.

Ketiga, mengingat mobil dinas kepresidenan tersebut sudah “dipinjam” SBY sejak 2014 atau hampir tiga tahun, patut dipertanyakan itikad baik SBY untuk mengembalikan atau minimal melaporkan keberadaan mobil tersebut. Dalam konferensi pers yang diwakilki juru bicara Partai Demokrat Imelda Sari, SBY tidak menjelaskan apakah dirinya sudah melaporkan soal kendaraan tersebut jauh-jauh hari sebelum kasus ini mencuat. Jika hanya niat namun tidak disampaikan kepada pihak yang memiliki otoritas, maka sulit bagi pihak luar untuk percaya SBY benar-benar ingin mengembalikan mobil dinas kepresidenan tersebut. Fakta bahwa SBY masih “menyimpan” mobil dinas kepresidenan justru  menimbulkan sakwa-sangka tidak baik di tengah masyarakat karena terkesan SBY belum sepenuhnya siap meninggalkan jabatan yang pernah diembannya selama 10 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun