Kemenangan politik selalu berkelindan dengan ketepatan dalam memainkan isu. Meski dalam kasus tertentu, faktor figur ikut berperan- seperti dalam kontestasi Pilkada DKI di mana sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok “lebih besar” dibanding partai pengusung, tetapi isu-isu politik yang berkembang tetap menjadi penentu. Dengan alasan ini, kita bisa melihat bagaimana tokoh sekelas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak berdaya mengantar anaknya memenangkan Pilkada Jakarta.
Jika ingin dibedah, setidaknya ada tiga faktor penyebab Agus Harimurti Yudhoyono yang berpasangan dengan Sylviana Murni, keok berdasarkan hitung cepat seluruh lembaga survei. Sayangnya, dua dari tiga faktor itu ada pada diri SBY.
Faktor pertama tentu sosok AHY- demikian sapaan akrab putra pertama SBY tersebut, yang belum sepenuhnya siap memasuki gelanggang politik. AHY tampak kedodoran menjabarkan program kerja, gagap menangkal serangan, dan tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait isu-isu strategis di Jakarta. Dalam perdebatan, AHY- terlebih Sylvi yang notabene orang Balai Kota, seperti memamerkan “ketidakpahamannya” tentang Jakarta. Data-data yang diungkap sangat mentah sehingga tidak seksi untuk dibahas oleh masyarakat. Satu-satunya program yang sempat menarik perhatian adalah janji gelontoran Rp 1 miliar per RW. Sayangnya, AHY gagal meyakinkan masyarakat terkait implementasi program tersebut manakala kelak dirinya terpilih menjadi gubernur.
Ketika Ahok mematahkan janji bantuan Rp 1 miliar per RW sebagai sesuatu yang tidak bisa direalisasikan, AHY justru masuk perangkap dengan mengatakan dana tersebut berasal dari APBD sehingga untuk melaksanakannya memerlukan persetujuan DPRD. Artinya, janji yang dilontarkan AHY hanya pepesan kosong karena dia sendiri tidak memiliki “hak mutlak” untuk merealisasikan.
Berbeda dengan program Anies Rasyid Baswedan terkait isu yang sama. Menurut pasangan Sandiaga salahudin Uno ini, yang diperlukan bukan gelontoran dana, tetapi penguatan peran RW dan RT sehingga dana yang akan dikucurkan untuk mendukung program penguatan tersebut bisa lebih dari Rp 1 miliar per RW. Angka yang ditawarkan Anies sebenarnya lebih besar dari AHY, tetapi tidak memancing perdebatan atau kesan bagi-bagi duit. Dari “kasus” ini terlihat siapa yang lebih “pintar” mengemas isu.
Faktor kedua penyebab kekalahan AHY-Sylvi adalah SBY. Sebagai mantan penguasa 10 tahun, SBY merasa dirinya masih dicintai rakyat. SBY masih meyakini kemenangan Jokowi pada pilpres kemarin lebih disebabkan karena dirinya tidak ikut dalam kontestasi. Dengan modal itu, SBY “nekad” melawan Jokowi. Hasilnya, SBY babak belur dalam berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. “Kegemaran” Jokowi mengekspose proyek mangkrak di era SBY menjadi pukulan paling mematikan Cikeas. Sebab rakyat kemudian membandingkan karya SBY selama 10 tahun dengan kerja Jokowi yang baru dua.
Tajamnya friksi Cikeas-Istana berimbas pada elektabilitas AHY-Sylvi. Sebelum SBY “melabrak” Jokowi, elektabilitas AHY cukup tinggi. Tetapi pasca serangan SBY ke Jokowi terkait demo-demo Bela Islam, suara AHY-Sylvi mulai anjlok. Para pendukung Jokowi yang sudah mengikrarkan diri tidak akan memilih Ahok, mulai meninggalkan AHY karena tidak suka Jokowi terus “diobok-obok”. Dalam kasus ini, SBY barangkali perlu “belajar” kepada BJ Habibie, bagaimana menjadi mantan yang baik.
Faktor ketiga, adalah soliditas partai pendukung. Sejak dideklarasikan hingga masa tenang, nyaris tidak ada geliat dari PAN, PKB apalagi PPP, untuk memenangkan pasangan AHY-Sylvi. Partai Demokrat seolah hanya butuh perahu, minus penumpangnya. Ini adalah kesalahan fatal SBY yang terlalu pede dengan kekuatan dirinya dan Partai Demokrat. Sekecil apa pun, mesin politik ketiga partai itu dapat berperan dalam menyokong suara, minimal membantu menangkis isu-isu negatif di tingkat akar rumput.
Tentu, kekalahan pada pilkada DKI bukan kiamat setidaknya bagi Partai Demokrat. Masih banyak waktu untuk berbenah menyongsong kontestasi politik lainnya, terutama Pemilu dan Pilpres 2019. Tetapi tidak demikian halnya dengan SBY. Sejak satu tahun terakhir masyarakat disuguhi drama yang tidak mendidik dan cenderung mendegradasi ketokohan SBY. Apa pun yang dilakukan SBY, ditanggapi negatif oleh masyarakat (setidaknya seperti yang terbaca di sosial media). Jika kembali gagal mengemas isu, bukan mustahil SBY justru akan menjadi penyebab kegagalan AHY untuk meraih jabatan-jabatan politik di masa mendatang.
Jadi, sudahlah, Pak SBY. Masa keemasan Anda sudah berlalu. Berikan kesempatan kepada AHY. Salah satu langkah yang harus segera dilakukan adalah melakukan regenerasi kepengurusan Partai Demokrat dan menyerahkan tongkat ketua umum kepada AHY. Dengan demikian sedikit demi sedikit masyarakat akan melupakan Anda, sehingga AHY bisa muncul sebagai dirinya sendiri.
Nyuwun duko menawi lepat. Sugeng ndalu, sugeng tetirah.