Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Good Job, Jenderal Tito!

27 November 2016   13:27 Diperbarui: 10 Desember 2016   11:13 6297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah polisi merilis 9 terduga anggota Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS yang ikut dalam demo 4 November dan menangkap sejumlah orang terduga teroris, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan bukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) yang memiliki agenda makar. Bayang-bayang akan terjadinya kekacauan sontak reda karena GNPF MUI pun diyakini akan membatalkan kegiatan sholat Jumat di jalanan seputar Bundaran Hotel Indonesia.

Pernyataan Kapolri jika GNPF MUI bukan pihak yang memiliki agenda makar, dan dirinya tidak pernah sekalipun menuduh Aksi Bela Islam sebagai kelompok yang hendak makar disampaikan Jenderal Tito saat mengunjungi Kantor PBNU di Jakarta.

Pada kesempatan itu Jenderal Tito mengaku sudah melakukan komunikasi dengan GNPF MUI. Pernyataannya selaras dengan sikap GNPF MUI yang siap membatalkan kegiatan sholat Jumat di jalanan pada demo 2 Desember mendatang jika memang ada fatwa MUI sebagaimana dikatakan anggota GNPF MUI yang juga Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Novel Bamukmin. Melihat statement dan sikap sejumlah anggotanya, dipastikan MUI akan mengambil jalan moderat yang intinya melarang sholat Jumat di jalanan meski sifatnya situasional. Artinya fatwa tersebut tidak berlaku umum, tetapi bersifat khusus dalam kondisi tertentu. Bentuknya juga mungkin bukan fatwa, namun hanya sebatas imbauan.

Mengapa demikian? Sholat Jumat di jalanan bukan hal baru, khususnya di Jakarta. Namun imam sholatnya tetap di dalam masjid. Sebagai contoh, sholat Jumat di Masjid Jami Ar Rohah Kebonjahe, Jalan Abdul Muis Jakarta Pusat. Jamaah sholat Jumat meluber sampai ke tengah Jalan Abdul Muis. Hal itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan selama ini belum pernah ada yang mengatakan bid'ah. Bagi yang biasa lewat jalan tersebut pada hari Jumat, tentu sudah hafal karena hampir separo badan jalan ditutup.

Sholat Jumat di jalan dengan imam di dalam masjid, juga dilakukan jamaah Masjid Jami Al Istikharah yang letaknya berdampingan dengan Gereja HKBP Kernolong, Jalan Kernolong Dalam, Kwitang Jakarta Pusat. Setiap Jumat, mulai pukul 11.00 WIB jalan tersebut ditutup karena digunakan untuk sholat Jumat. Jemaat Gereja Kernolong sudah sangat hafal karena sudah berlangsung bertahun-tahun dan selama ini tidak pernah menimbulkan masalah. Pada hari Minggu atau hari-hari lain manakala ada kegiatan ibadah di Gereja HKBP Kernolong, giliran jemaat gereja yang menggunakan pelataran dan jalan di seputar masjid untuk parkir kendaraan.

Jika hati dan pikiran tidak dipenuhi kebencian, niscaya hal-hal semacam itu tidak akan menimbulkan masalah. Justru akan terlihat indah karena di situlah pengejawantahan toleransi yang sesungguhnya. Tidak dengan gembar-gembor dan parade artifisial.

Namun jika pun MUI mengeluarkan fatwa larangan yang bersifat umum, percayalah, mayoritas umat Islam akan mematuhinya demi kebaikan bersama, demi tegaknya toleransi. Sebab toleransi memang membutuhkan pengorbanan. Sepanjang tidak prinsip, tentu masih bisa dilonggarkan.

Jika MUI mengeluarkan fatwa larangan sholat Jumat di jalanan, khususnya untuk aksi 2 Desember, namun massa GNPF MUI melanggarnya, maka perlu dipertanyakan komitmen mereka apakah benar-benar untuk mengawal proses hukum terhadap terduga penista agama, atau memiliki agenda lain. Bahwa demo itu dilakukan karena menengarai ada perlakuan berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya, silahkan saja. Bahwa polisi menganggap hukum sudah ditegakkan dengan penetapan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka, sah-sah saja. Perbedaan cara pandang tidaklah haram sepanjang tidak dilakukan dengan pemaksaan kehendak yang disertai kekerasan. Layaknya demo buruh yang menuntut UMR sesuai versinya, sementara pemerintah sudah menetapkan berdasarkan kajiannya. Sepanjang hanya menyuarakan aspirasi, tidaklah elok dilabeli hal-hal yang menyeramkan.

GNPF MUI jangan memaksa polisi dan aparat penegak hukum lainnya bekerja sesuai arahannya, keinginannya. Hak menyampaikan pendapat yang dijamin oleh undang-udang, bukanlah hak untuk memaksakan kehendak. Polisi dan aparat penegak hukum, termasuk jaksa dan hakim juga jangan bekerja, memutus perkara, berdasarkan tekanan massa. Tegakkan hukum sesuai undang-undang yang berlaku dan fakta-fakta yang ada. Semua akan selaras dan damai jika ada saling pengertian dan penghargaan terhadap posisi masing-masing.

Manakala ada penyusup, pendompleng, penumpang gelap, di dalam aksi-aksi tersebut, yakinlah masyarakat akan mendukung apapun tindakan polisi dan aparat keamanan lainnya, termasuk TNI. Jika ada provokasi baik langsung maupun melalui akun abal-abal di sosmed, silahkan ditangkap dan penjarakan.

Good job, Jenderal Tito!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun